Tenda Haji di Arafah Penuh, Jemaah Terlantar: Kemenag Akui Kekacauan dan Minta Maaf
Infoaceh.net – Kekacauan terjadi dalam penyelenggaraan haji 2025. Ribuan jemaah haji Indonesia dilaporkan kesulitan mendapatkan tenda di Arafah hingga terpaksa berjalan kaki jauh dari Muzdalifah ke Mina. Kementerian Agama (Kemenag) pun akhirnya mengakui adanya masalah serius dalam pelayanan dan meminta maaf.
“Atas nama Ketua PPIH Arab Saudi, saya menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan sebagian jemaah haji Indonesia,” kata Ketua Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Mukhlis M. Hanafi, dikutip dari situs resmi Kemenag, Minggu (8/6/2025).
Mukhlis menjelaskan bahwa beberapa tenda yang tersedia tak mampu menampung seluruh jemaah. Meski tenda berkapasitas 350 orang, nyatanya hanya bisa digunakan 325 orang karena keterbatasan ruang dan logistik.
Distribusi jemaah yang berdasarkan penginapan (hotel) juga menyulitkan penataan. Banyak jemaah yang pindah hotel tidak sesuai dengan markaz atau lokasi koordinasi resmi, membuat penempatan menjadi kacau.
“Mobilitas jemaah tidak terkendali. Banyak yang berpindah tenda secara sepihak. Ini memperburuk distribusi dan menyulitkan kontrol layanan secara keseluruhan,” tegas Mukhlis.
Faktor lain penyebab kekacauan adalah minimnya jumlah petugas haji dibandingkan dengan jumlah jemaah yang mencapai 203 ribu orang tersebar di 60 markaz.
PPIH mengaku kewalahan, bahkan tenda milik petugas dan Misi Haji Indonesia pun terpaksa dialihkan untuk digunakan para jemaah. PPIH juga sudah melobi pihak syarikah (operator lokal Arab Saudi) untuk menambah tenda.
“Melalui langkah-langkah ini, kepadatan mulai terurai. Saat puncak wukuf, seluruh jemaah sudah berada di tenda dan dapat beribadah dengan tenang,” klaim Mukhlis.
Kekacauan tak berhenti di Arafah. Di Muzdalifah, ribuan jemaah dilaporkan harus berjalan kaki menuju Mina akibat keterlambatan dan kemacetan panjang ribuan bus.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief mengakui peristiwa itu. Menurutnya, antrean panjang bus menyebabkan jadwal keberangkatan dari Muzdalifah tidak sesuai, membuat banyak jemaah kelelahan menunggu dan memilih berjalan kaki.
“Pergerakan jemaah pejalan kaki berdampak pada kemacetan jalur utama bus. Upaya menenangkan jemaah dan menghentikan arus jalan kaki sudah tak bisa dikendalikan,” ungkap Hilman.
Situasi kian genting hingga PPIH Arab Saudi meminta bantuan darurat kepada Kementerian Haji Arab Saudi.
Pada pukul 03.12 dini hari waktu setempat, PPIH mengajukan permintaan percepatan pengiriman bus. Bahkan, bantuan logistik berupa air minum, makanan ringan, dan pelindung panas juga diminta karena jemaah sudah mulai kepanasan dan kelelahan.
Baru pada pukul 08.50 waktu Arab Saudi, empat kontainer bantuan logistik tiba di Muzdalifah untuk jemaah Indonesia.
Insiden ini memicu sorotan publik terhadap kesiapan Kemenag dan manajemen haji secara keseluruhan. Permintaan maaf PPIH dianggap belum cukup tanpa tindakan konkret ke depan.
Tak sedikit pihak menilai, kekacauan ini berpotensi terulang jika tidak ada pembenahan mendasar, mulai dari distribusi jemaah, jumlah petugas, hingga sistem transportasi dan logistik.
Meskipun pemerintah mencoba menenangkan publik dengan pernyataan bahwa “semua jemaah kini sudah tertampung dan tenang”, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya krisis yang tidak bisa diremehkan.
Jika penyelenggaraan haji—ibadah tahunan yang sakral—masih diwarnai kelalaian dan buruknya koordinasi, maka reformasi menyeluruh pada sistem manajemen haji Indonesia adalah harga mati.