ICMI Aceh: Presiden Jangan Diam Soal Empat Pulau yang Lepas dari Aceh
Banda Aceh, Infoaceh.net — Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Wilayah Aceh mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah bijak menyelesaikan polemik status empat pulau di Aceh Singkil yang kini dialihkan ke wilayah Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara, melalui Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kepmendagri) tahun 2025.
Ketua Majelis Pengurus Wilayah ICMI Aceh Dr Taqwaddin Husin, menyatakan Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan dan Pulau Panjang secara historis merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.
Namun, Keputusan Mendagri Tito Karnavian Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 menetapkan keempat pulau tersebut sebagai wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyangkut marwah dan identitas masyarakat Aceh. Kebijakan ini sangat politis dan antropologis, sehingga tidak layak diselesaikan melalui ranah yudikatif sebagaimana disarankan oleh Mendagri,” ujar Dr Taqwaddin, akademisi hukum dari Universitas Syiah Kuala dan Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor.
Menurutnya, keputusan tersebut juga mengingkari butir 1.1.4. dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, yang menyebutkan bahwa batas wilayah Aceh mengacu pada kondisi per 1 Juli 1956.
“Kebijakan ini jelas mengabaikan MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka, yang merupakan fondasi perdamaian Aceh,” tambahnya.
ICMI Aceh juga menilai keputusan Mendagri melanggar Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang mengatur bahwa kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh harus melalui konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh.
“Kami meminta kebijaksanaan Bapak Presiden untuk mengembalikan status keempat pulau itu ke Aceh dan mengevaluasi kebijakan Mendagri. Kami yakin Presiden Prabowo memahami perasaan masyarakat Aceh yang sangat menjunjung nilai keadilan dan integritas wilayah,” tutur Taqwaddin.
ICMI Aceh menegaskan, ketidakadilan semacam ini berpotensi menimbulkan kegaduhan sosial dan politik yang dapat mengganggu stabilitas nasional serta perdamaian yang telah terjaga selama dua dekade terakhir.