Saintis Tak Mati-mati
OLEH: AHMADIE THAHA
PERANG Israel-Iran kembali pecah. Kali ini, Israel mengambil inisiatif menyerang Iran. Serangan ini secara resmi digambarkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF), dan oleh Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, sebagai “serangan preemptif” — tindakan yang diambil sebelum ancaman berubah menjadi kenyataan hancur-hancuran.
Menurut Kepala Staf IDF, Letjen Eyal Zamir, serangan yang disiapkan delapan bulan ini muncul karena situasi telah “mencapai titik tanpa jalan kembali.” Intelijen Israel meyakini bahwa program senjata nuklir Iran telah berkembang pesat hingga menjadi ancaman eksistensial. Israel ketakutan eksistensinya dilenyapkan oleh Iran.
Netanyahu yakin, Iran punya cukup uranium yang diperkaya untuk membuat sembilan bom nuklir, dan mungkin lebih banyak dari yang dilaporkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Iran diduganya sedang mempercepat langkah menuju weaponization — yakni membangun senjata nuklir itu sendiri.
Ditambah dengan program misil balistik Iran yang berkembang pesat, negara kecil Israel makin ketakutan. Jika dibiarkan, misil-misil ini pun akan menjadi ancaman eksistensial tersendiri karena kemampuan mereka untuk menembus sistem pertahanan Israel. Dan ini terbukti dalam serangan balasan Iran, dengan menarget Tel Aviv.
Maka, dalam serangan Jumat 13 Juni 2025, Israel membuat target membunuh 25 ilmuwan nuklir Iran, yang keberadaan mereka sudah dipetakan. Namun, dari 25 target, hanya dua orang saja yang “berhasil” mereka bunuh. Ini berarti hanya 8 persen keberhasilan, alias gagal total. Bayangkan, betapa besar kerugian Israel dalam perang kali ini.
Israel, dalam narasi yang sering diperdengarkan ke dunia internasional, menyerang Iran karena ketakutan jika program senjata nuklir Iran membuahkan “cendol plutonium” yang bisa menyasar Tel Aviv. Masalahnya, pendekatan ini seperti mencoba mematikan listrik sebuah kota dengan menembaki bola lampu satu per satu.
Padahal, saintis boleh mati, tapi pengetahuan tak pernah bisa dibunuh. Menurut data yang dikutip dari Bulletin of the Atomic Scientists, edisi 27 November 2020, William Tobey menyebutkan bahwa pembunuhan ilmuwan nuklir Iran yang sudah dilakukan banyak negara dengan beragam cara, termasuk meracun, selama ini tidak membuat program nuklir mereka mandek.