Paradoks Putusan MK Soal Pemilu: Enam Pilihan Kini Dibatasi Satu Model
JAKARTA, Infoaceh.net — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pelaksanaan Pemilu nasional dan lokal dinilai kontradiktif alias paradoksal.
Pasalnya, MK dalam putusan sebelumnya telah membuka enam opsi model keserentakan Pemilu, namun kini justru membatasi hanya satu pilihan.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin, menyebut putusan terbaru ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Padahal dalam putusan tahun 2020 itu, MK memberi keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk memilih desain keserentakan pemilu.
“Putusan MK yang terbaru ini justru membatasi opsi yang sebelumnya sudah diberikan. Ini jelas paradoks,” kata Khozin di Jakarta, Jumat (27/6/2025).
Legislator dari Dapil Jatim IV (Jember–Lumajang) itu menegaskan bahwa urusan model keserentakan pemilu merupakan kewenangan legislatif, bukan domain MK. Ia menyayangkan MK yang kini seolah ‘melompati pagar’ kewenangan pembentuk UU.
“Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca Putusan 55 bukan alasan MK untuk ikut menentukan model keserentakan. Itu ranah DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang,” tegasnya.
Lebih jauh, Khozin mengutip pertimbangan hukum angka 3.17 dalam Putusan 55/PUU-XVII/2019, yang secara tegas menyatakan MK tidak berwenang menentukan model keserentakan. “Tapi hari ini MK justru memutus satu model tunggal. Ini menyimpang dari pendirian hukumnya sendiri,” sesalnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khozini, Jember itu juga mengingatkan, dampak dari putusan ini akan merembet pada banyak aspek: mulai dari hak pembentuk UU, teknis penyelenggaraan pemilu, hingga stabilitas konstitusional.
“Putusan ini tidak cukup dilihat dari aspek legal semata, tapi perlu pendekatan kenegaraan. Di sinilah pentingnya sosok hakim konstitusi yang negarawan, bukan sekadar juru tafsir undang-undang,” ujar Khozin.
Ia memastikan DPR akan menjadikan putusan terbaru MK ini sebagai catatan kritis dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang segera digelar. “Rekayasa konstitusional tetap menjadi pilihan DPR untuk merancang arsitektur pemilu ke depan yang lebih adil dan rasional,” pungkasnya.