Gerindra Kritik Putusan MK Soal Pemilu Terpisah: Bisa Langgar Konstitusi dan Picu Kekacauan Hukum
JAKARTA, Infoaceh.net – Ketua DPP Partai Gerindra, Heri Gunawan, menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah perlu dikaji secara menyeluruh.
Ia menilai keputusan tersebut berisiko menimbulkan krisis konstitusi dan menciptakan ketidakpastian hukum.
“Putusan MK perlu ditelaah secara mendalam. Jangan sampai niat memperbaiki demokrasi justru menghasilkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan melampaui kewenangan MK,” kata Hergun, sapaan akrabnya, di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
MK dalam putusannya menyebut bahwa pemilu nasional—meliputi pemilihan presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD—akan dipisahkan dari pemilu daerah seperti pemilihan DPRD dan kepala daerah. Jeda waktu antara dua pemilihan itu diatur paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.
Hergun mengakui bahwa secara konseptual ada beberapa sisi positif dari putusan tersebut. Pemisahan jadwal pemilu dianggap bisa memperkuat perhatian terhadap isu-isu lokal yang selama ini tenggelam oleh isu nasional, meningkatkan partisipasi pemilih dalam pilkada, serta memberi ruang yang lebih luas bagi penyelenggara pemilu untuk mempersiapkan diri secara teknis dan administratif.
Namun, ia menegaskan bahwa ada persoalan mendasar yang tak bisa diabaikan. Ia menyebut, pemisahan jadwal pemilu membuka peluang bagi “petualang politik”, yakni caleg nasional yang gagal untuk langsung mencalonkan diri dalam pemilu tingkat daerah. Kondisi ini bisa menggerus peluang kader lokal dan merusak semangat demokrasi di daerah.
Ia juga mengingatkan bahwa pemilu lima tahunan merupakan amanat konstitusi. Jika pemilu DPRD dilakukan lebih dari lima tahun karena pergeseran jadwal, maka akan bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945. Menurutnya, MK telah melewati batas kewenangannya sebagai penguji undang-undang dan memasuki wilayah pembentuk norma yang merupakan kewenangan DPR dan Presiden.
“Konstitusi kita menegaskan bahwa kekuasaan membuat undang-undang ada di DPR dan Presiden. Kalau MK ikut menetapkan norma baru, ini bisa menimbulkan preseden yang buruk,” tegas Hergun.
Ia juga menyebut bahwa putusan MK yang baru ini tidak konsisten dengan putusan sebelumnya, yakni Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan enam opsi model keserentakan pemilu dan menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang.
DPR, kata Hergun, akan menggunakan hasil kajian ini dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Pemilu ke depan. Menurutnya, jika putusan MK terbukti bertentangan dengan UUD 1945, maka DPR akan berpegang pada konstitusi sebagai acuan tertinggi.