Diskon Penjara Setnov: MA Kabulkan PK, Koruptor e-KTP Dapat Potongan 2,5 Tahun
Jakarta, Infoaceh.net — Di tengah kekecewaan publik terhadap vonis ringan bagi koruptor kelas kakap, Mahkamah Agung (MA) kembali membuat geger. Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto alias Setnov mendapat “diskon istimewa” hukuman penjara dalam kasus mega korupsi proyek e-KTP.
Melalui putusan Peninjauan Kembali (PK), hukuman Setnov yang semula 15 tahun dipangkas menjadi 12 tahun 6 bulan. Vonis ini menambah deret panjang kasus kakap yang berujung pada putusan yang memicu tanda tanya besar: ke mana arah keadilan hukum di republik ini?
Dari Simbol Korupsi Jadi Penerima Keringanan
Setnov divonis bersalah karena terbukti memperkaya diri sendiri dan orang lain melalui proyek pengadaan e-KTP yang merugikan negara lebih dari Rp2,3 triliun. Ia sebelumnya dihukum 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada 2018, disertai kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta.
Tanpa mengajukan banding atau kasasi, Setnov langsung memilih jalur PK. Kini, lewat putusan PK Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang diputus pada 4 Juni 2025, ia resmi mendapat potongan hukuman.
Putusan itu dijatuhkan oleh Majelis Hakim MA yang diketuai Surya Jaya, dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. Berikut isi amar putusan:
-
Pidana penjara: 12 tahun 6 bulan
-
Denda: Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan
-
Uang Pengganti: USD 7,3 juta (Rp5 miliar telah dititipkan ke KPK)
-
Sisa UP Rp49 miliar subsider 2 tahun penjara
-
Pencabutan hak politik: tidak boleh menjabat jabatan publik selama 2 tahun 6 bulan setelah menjalani pidana
Pengacara Setnov: Harusnya Bebas, Bukan Cuma Dipotong
Kuasa hukum Setnov, Maqdir Ismail, justru menilai putusan PK ini belum cukup.
“Menurut hemat saya, itu tidak cukup. Seharusnya bebas,” kata Maqdir, Rabu (2/7/2025).
Maqdir beralasan, Setnov tidak memiliki kewenangan langsung dalam proyek e-KTP. Ia bukan anggota Komisi II DPR RI yang bertanggung jawab atas kependudukan dan pengadaan sistem identitas elektronik.
“Dia didakwa dengan pasal yang salah. Kalau pun menerima uang, itu seharusnya masuk kategori gratifikasi atau suap, bukan korupsi pengadaan,” ujarnya.
Drama Setnov: Dari Sakit Palsu hingga Plesiran Penjara
Publik tentu belum lupa drama panjang yang menyertai proses hukum Setya Novanto. Mulai dari pura-pura sakit dan dirawat di RSCM dengan alat medis rekayasa, hingga tertangkap kamera pelesiran ke luar Lapas Sukamiskin. Sosok ini sejak awal memang dianggap sebagai lambang korupsi elite politik Indonesia.
Kini, ketika hukumannya justru dipotong, kekecewaan publik pun semakin dalam. Di saat koruptor kecil diburu tanpa ampun, para perampok uang negara justru mendapat “diskon khusus” di ujung masa tahanan.
Pesan Buruk dari MA untuk Pemberantasan Korupsi
Putusan PK Setnov ini memantik pertanyaan besar: apakah sistem hukum Indonesia masih bisa dipercaya untuk menjerat kejahatan kelas elite?
Setya Novanto adalah ikon dari kerusakan sistemik politik dan hukum. Jika sosok seperti ini masih mendapat pemotongan hukuman, bagaimana nasib pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan?
Putusan ini tak hanya melemahkan efek jera, tetapi juga mengirim sinyal buruk kepada publik: bahwa keadilan bisa dinegosiasi, selama pelakunya punya posisi dan pengacara yang tepat.