Abu Daud Zamzami; Ulama Dayah Pencerah Umat, Nasehati Umara dengan Pemikiran Jernihnya
Beliau berasal dari keturunan teungku dan pengawal agama. Nama lengkap beliau adalah Teungku Muhammad Daud bin Teungku Zamzami bin Teungku Cut Dalam, berasal dari Lam Teungoh, Aceh Besar.
Sedangkan dari jalur ibunya, beliau juga memiliki darah teungku yaitu Teungku Mahyuddin kakeknya dari ibunya, Zainabah.
Teungku Muhammad Daud Zamzami lahir pada tahun 1935, di Desa Bada, Lambaro Kafe, Aceh Besar.
Ayah Abu Daud Zamzami meninggal ketika beliau masih kecil, sehingga ibunya lah yang merawat dan membimbing Abu Daud Zamzami dimasa kecilnya. Menjadi anak tunggal dalam keluarga menyebabkan perhatian ibundanya tercurah penuh kepada Abu Daud.
Pengajaran dan perhatian dari ibunda merupakan bagian penting dari pembentukan karakter Abu Daud, sehingga ia terkenal memiliki karakter yang ramah, sopan, santun dan berhati lembut.
Ketika usianya menginjak umur 7 tahun, Abu Daud mulai menempuh pendidikan formal pertamanya. Ia masuk ke Sekolah Rakyat pada tahun 1942 dan belajar di sekolah itu selama tiga tahun berikutnya di Lam Teungoh.
Sejak kecil Teungku Muhammad Daud Zamzami atau akrab disebut dengan Abu Daud Zamzami telah akrab dengan dunia pesantren dan dayah. Beliau belajar langsung kepada ayahnya juga kepada kakek dari pihak ibunya yang memimpin pesantren tersebut.
Abu Daud Zamzami tumbuh dalam keadaan mencintai ilmu pengetahuan. Sehingga tidak mengherankan pada usia sebelum baligh beliau sudah mulai ‘meudagang’ di beberapa pondok pesantren tersohor pada masanya.
Kecenderungan Abu Daud Zamzami kepada pelajaran agama telah nampak sejak kecil.
Setelah menguasai dasar-dasar keilmuan yang dipelajari dari orang tuanya, Abu Daud Zamzami dalam usia sekitar 13 tahun memutuskan untuk melanjutkan pendidikanya dan
mulai belajar pada ulama besar Aceh Abu Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee di Dayah beliau Lam Seunong, Kuta Baro, Aceh Besar.
Kepada Syekh Hasan Krueng Kalee, beliau mempelajari berbagai cabang keilmuan Islam seperti fikih, ushul fikih, tauhid, tasauf dan ilmu-ilmu lainnya.
Sekitar empat tahun beliau memperdalam keilmuannya kepada ulama kharismatik tersebut tentu telah memiliki perbekalan yang memadai untuk melanjutkan pengajian beliau secara mendalam kepada Abuya Syekh Muda Waly di Darussalam, Labuhan Haji pada tahun 1953.
Diantara teman segenerasi beliau adalah ulama kharismatik Aceh Abu Tu Muhammad Amin Blang Bladeh, Abu Abu Bakar Sabil Meulaboh, Abu Hanafi Matangkeh dan ulama lainnya.
Adapun Abu Tanoh Mirah dan Abon Samalanga lebih senior dari mereka satu dua tingkat. Namun mereka semua dapat mengikuti kelas khusus bersama Abuya Muda Waly dalam kelas Bustanul Muhaqiqin yang masyhur itu.
Dengan segenap kesungguhan Abu Daud Zamzami belajar, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang ulama.
Abu Daud belajar di Dayah Darussalam ini selama lebih kurang tujuh tahun (1953-1960). Ia terkenal dengan kedalaman ilmu dalam bidang ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Mantiq, Nahu, tasawwuf dan ilmu tarekat Alhaddadiyah.
Abu Daud Zamzami pada tahun 1960 meminta izin kepada Abuya Syekh Muda Waly untuk pulang kampung. Sesampai kembali di kampung halaman, setelah belajar beberapa tahun di Dayah Darussalam Labuhan Haji, beliau mengabdikan ilmunya di Dayah Ulee Titi yang saat itu dipimpin Abu Ishaq al-Amiry Ulee Titi, ayahnya Abu Athaillah Ishaq Ulee Titi yang merupakan menantu Abu Daud Zamzami.
Pada tahun 1960, Abu Daud Zamzami melepas masa lajangnya dengan menikahi Mardhiyah Binti Ali. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai sebanyak sembilan anak, empat orang putra dan lima orang putri.
Sekitar dua tahun Abu Daud Zamzami mengabdikan ilmunya di Dayah Ulee Titi, pada tahun 1963, beliau mulai menghidupkan kembali dayah kakeknya Riyadhus Shalihin, di Gampong Lam Ateuk Anggok, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
Karena sebelum beliau membangun dayahnya Riyadhus Shalihin, di tempat yang sama dulunya Teungku Mahyuddin dan Teungku Daud Rabeu pernah memimpin pesantren tersebut beberapa tahun hingga keduanya wafat.
Abu Daud merupakan pimpinan ketiga. Sebelum ia memimpin, Dayah ini sempat mengalami kevakuman kepemimpinan. Pada saat inilah, Abu Daud Zamzami mengambil alih kepemimpinan dan tetap mengelola dayah Riyadhus Shalihin.
Di dayah ini, Abu Daud mengajarkan ilmu-ilmu akhlak, fiqh dan juga bahasa Arab kepada santri-santrinya. Lama kelamaan pula, murid di dayah ini terus bertambah seiring dengan semakin dikenalnya nama Abu Daud Zamzami dalam dunia pendidikan dayah.
Dayah Riyadhus Shalihin juga mengizinkan murid-muridnya untuk pergi bekerja atau kuliah di IAIN (UIN Sekarang) atau UNSYIAH pada siang hari dan kembali menuntut ilmu agama di pesantren pada malam hari.
Setelah beberapa tahun mengabdikan diri sebagai teungku dayah, dalam sebuah pertemuan yang dipimpin Abu Abdullah Ujong Rimba pada tahun 1965 yang membahas tentang komunis ketika itu.
Pertemuan tahun 1965 tersebut merupakan cikal bakal berdirinya MUI Aceh yang pada waktu itu namanya MUA singkatan dari Majelis Ulama Aceh yang ketuanya adalah Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba sampai beliau wafat.
Sejak berdiri MUA tahun 1965 bahkan ketika berubah nama menjadi MUI Aceh dan selanjutnya MPU Aceh, Abu Daud Zamzami terlibat secara aktif sebagai ulama perwakilan Aceh Besar yang kemudian beliau menjadi salah satu wakil ketua MPU Aceh.
Abu Daud Zamzami mengetahui persis sejarah MPU Aceh dan setiap rumusan fatwa-fatwa MPU Aceh.
Selain ulama yang aktif di MPU Aceh, Abu Daud Zamzami juga merintis organisasi persatuan dayah Aceh atau dikenal dengan Inshafuddin, terhitung dari tahun 1968 sampai 2004 beliau menjadi tokoh Inshafuddin dan memimpin organisasi tersebut.
Sebagai seorang yang matang dalam organisasi dayah, Abu Daud Zamzami juga aktif di beberapa organisasi Ahlussunnah Waljama’ah seperti PERTI bahkan beliau pernah menjadi ketua PERTI sebelum Tgk H Mohd Faisal Amin, dan beliau pernah menjadi anggota dewan beberapa periode.
Abu Daud Zamzami, dikenal dengan ulama yang selalu memberikan masukan kepada pemerintah, beliau pernah menjadi anggota DPRD Aceh hingga MPR/DPR RI, jiwa birokrasinya yang andal hingga saat menjadi salah satu pimpinan Majelis Permusyarawatan Ulama Aceh
Abu Daud Zamzami menyempurnakan pengabdian beliau di MPU Aceh sebagai ketua menggantikan Prof Dr Tgk H Muslim Ibrahim MA (wafat 12 Desember 2019), pada tahun 2020 dalam usia 85 tahun, yang masih terlihat enerjik dan gagah untuk usianya.
Ketika dikukuhkan sebagai Ketua MPU Aceh ingatan beliau masih kuat, namun fisik beliau tentu tidak sekuat dahulu. Karena beliau lahir di tahun 1935 seangkatan dengan Abu Tumin Blang Blahdeh.
Tentu telah banyak upaya positif yang beliau lakukan dalam berbagai sektor agama di Aceh. Banyak kebijakan strategis yang lahir dari pemikiran-pemikiran jernihnya. Beliau dengan segudang kiprahnya tentu tidak bisa dianggap sepele.
Telah dipersembahkan tenaga, usaha dan bahkan usianya untuk mengawal pemahaman agama di Aceh.
Pada hari Selasa, 16 Maret 2021 sekitar pukul 09.45 WIB, Abu Daud Zamzami wafat dalam sisa 86 tahun karena sakit komplikasi yang dialaminya dalam beberapa bulan terakhir.
Abu Daud berpulang ke Rahmatullah di kediamannya, Komplek Dayah Riadhus Shalihin Gampong Ateuk Anggok Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar.
Sang ulama pencerah umat itu telah berpulang menghadap Sang Khalik. Semoga Allah SWT mengampuni dosa beliau dan menerima semua amal ibadahnya serta mendapat tempat terbaik di sisi Allah.
Ditulis Oleh:
Dr Nurkhalis Mukhtar El Sakandary Lc