Mualem: Aceh Kian Terpuruk Ketika Dipegang Orang yang Bukan dari Kader PA
BANDA ACEH – Ketua Umum DPA Partai Aceh (PA) H Muzakir Manaf mengungkapkan, kondisi Aceh saat ini ketika dipegang oleh orang-orang yang bukan dari kader Partai Aceh, telah membuat rakyat Aceh terpuruk lebih dalam lagi.
Kekacauan-kekacauan yang terjadi seharusnya dapat dihindari, akan tetapi seolah-olah dibiarkan oleh para penguasa Aceh saat ini demi keuntungan pribadi.
“Oleh karena itu melalui kesempatan ini saya juga menyampaikan perintah kepada seluruh kader-kader Partai Aceh yang sedang menduduki jabatan politik baik di DPR Aceh, DPR Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali Kota agar melakukan segala upaya untuk melawan kezaliman ini,” ujar Muzakir Manaf.
Penegasan itu disampaikan pria yang akrab disapa Mualem itu, saat menyampaikan pidatonya dalam rangka memperingati Milad ke-14 tahun Partai Aceh, di Kantor Pusat Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh, di Banda Aceh, Rabu (7/7).
Peringatan Milad PA kali ini mengusung tema “Kureung Reumbang Tapeupah, Pat Nyang Salah Tapeubeuna, Tameusaboh Tapeuwo Marwah Bangsa”. Tema ini bermakna bahwa PA harus berbenah, memperbaiki hal-hal yang salah, dan persatuan dan kesatuan demi kejayaan Aceh.
“Tema ini merupakan petuah dari para indatu-indatu kita sebagai sebuah nasihat agar kita bisa memperbaiki diri. Tentunya dengan memperbaiki diri, kita akan menjadi lebih baik sebagai mana harapan rakyat,” ujar Mualem.
Mengawali pidatonya, Mualem mengucapkan terima kasih kepada seluruh rakyat Aceh yang telah bahu-membahu membantu PA dari mulai proses pembentukan sampai perjalanan 14 tahun ini. Sehingga PA dapat meraih kursi terbanyak di level DPRA selama tiga kali Pemilu berturut-turut. Begitu juga kepada seluruh pihak baik jajaran pemerintah pusat mulai dari Presiden, kementerian/lembaga RI, TNI, Polri, Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota serta lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah memberikan dukungan sehingga perjalanan PA dalam mengarungi kehidupan perpolitikan di Aceh tidak mengalami hambatan apapun.
“Tak lupa rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh ulama Aceh yang telah bersedia mendampingi dan memberikan nasihat-nasihat kepada Partai Aceh, sehingga Partai Aceh tetap dalam keistikamahannya dalam menegakkan prinsip-prinsip syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini,” ucap Mualem.
Mualem memaparkan umur 14 tahun dalam proses perjalanan manusia adalah sebuah fase yang cukup menarik. Anak laki-laki dalam umur ini biasanya sudah memasuki fase akil baligh dan dalam ilmu medis dikenal dengan fase pubertas atau puber.
Fase ini adalah fase di mana seorang manusia sudah matang secara fisik dan terjadi perubahan dari tubuh seorang anak menjadi tubuh orang dewasa.
Secara tingkah laku dan psikologis juga mengalami perubahan, biasanya seseorang yang memasuki tahap puber akan lebih berani bersikap dan sangat tertarik pada tantangan-tantangan baru.
“Partai Aceh dalam umur 14 tahun ini juga akan mengalami hal yang sama. Perjalanan 14 tahun ke belakang lebih didominasi dengan proses pembelajaran, hal ini karena Partai Aceh adalah sebuah partai yang baru saja didirikan setelah konflik yang sangat panjang,” tutur Mualem.
Mualem menyebut konflik tersebut merupakan konflik berdarah-darah antara rakyat Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia yang telah menelan korban puluhan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Konflik tersebut terus terjadi sambung menyambung semenjak Aceh bergabung dengan NKRI dan sepertinya tidak akan pernah berakhir.
“Akan tetapi, berkat rahmat Allah SWT melalui cara-cara-Nya yang ghaib, Aceh dan RI dapat berdamai di bawah pantauan masyarakat dunia internasional yang secara proaktif terlibat dalam proses perdamaian tersebut”.
“Perdamaian itu pula yang telah mengubah pola perjuangan rakyat Aceh dalam menuntut hak-haknya. Jika ketika masa konflik pola perjuangan dengan menggunakan perang bersenjata, maka setelah adanya perdamaian pola perjuangan harus menggunakan pola politik yang demokratis,” kata Mualem.
Itulah sebabnya, kata Mualem, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kemudian mendirikan partai politik untuk meneruskan perjuangan rakyat dengan cara-cara demokrasi. Partai bentukan GAM ini di deklarasikan pada hari Sabtu, tanggal 7 bulan 7 tahun 2007 dengan nama Partai GAM.
Akan tetapi, walaupun sudah tertulis di dalam poin-poin MoU Helsinki tentang hak rakyat Aceh dalam mendirikan partai politik lokal dan bahkan sudah diformalkan ke dalam sistem tata negara Republik Indonesia, pendirian Partai GAM mendapat banyak tantangan dari berbagai pihak, hingga akhirnya setelah proses negosiasi yang alot, Partai GAM berubah nama menjadi Partai Aceh dan dapat mengikuti Pemilu pertama setelah perdamaian Aceh yaitu Pemilu 2009.
Menurut Mualem, dalam perjalanan 14 tahun ini tentu banyak tantangan dan kendala yang dihadapi PA, mulai tantangan dan serangan dari pihak-pihak yang tidak senang dengan perdamaian Aceh.
Mereka melakukan pembakaran terhadap kantor-kantor PA di beberapa kabupaten/kota, seperti yang terjadi di Atu Lintang yang menewaskan lima kader PA di dalam kantor tersebut. Mereka juga melakukan penembakan dan teror kepada kader dan pendukung PA.
“Sampai pada tantangan dan kendala lainnya seperti kualitas sumber daya manusia yang memiliki disparitas (jarak) yang cukup jauh, kurangnya anggaran, bahkan sampai pada tidak fahamnya kader-kader partai terhadap sistem perpolitikan di Indonesia. Semua tantangan tersebut, Alhamdulillah dapat dihadapi oleh Partai Aceh satu persatu dengan segala kemampuan yang ada walaupun terkadang harus mengorbankan banyak hal. Dan hasilnya, tiga kali berturut-turut Partai Aceh menjadi pemenang Pemilu Aceh,” ujar Mualem.
Saat ini, kata Mualem, PA sudah memasuki babak baru dalam perjalanannya. Umur 14 tahun ini sepertinya juga telah mengubah PA baik secara fisik maupun secara psikologis. “Perubahan yang saya maksud di sini lebih pada perubahan yang lebih medewasakan, di mana kita saat ini menyadari ternyata perjuangan terhadap implementasi MoU Helsinki ternyata tidak bisa berdiri sendiri, tetapi juga harus dibarengi dengan perjuangan kesejahteraan rakyat Aceh yang nyata,” tuturnya.
“Sebelumnya kita paham, tujuan didirikannya Partai Aceh adalah untuk memperjuangkan butir-butir MoU Helsinki agar dapat terealisasi seutuhnya, karena kita sadar setelah adanya perdamaian, perjalanan pemerintahan Aceh hanya akan dapat berjalan baik dan maju bila MoU Helsinki dijalankan sepenuhnya oleh para pihak (RI dan GAM), termasuk di dalam kategori baik tersebut adalah kesejahteraan rakyat Aceh. Akan tetapi, ternyata kondisi rakyat Aceh pascakonflik sudah terpuruk sangat dalam sehingga untuk menunggu kesejahteraan setelah terimplementasinya seluruh poin MoU Helsinki membutuhkan waktu yang sangat lama. Sedangkan rakyat tidak bisa kita ajak bersabar dalam kondisi serba kekurangan dan kesusahan,” papar Mualem.
Oleh karena itu, Mualem menegaskan momentum 14 tahun ini, harus PA gunakan untuk sedikit lebih kreatif dalam menjalani proses perpolitikan di Aceh. “Selain tetap memperjuangkan implementasi MoU Helsinki, kita juga harus lebih maksimal dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat dalam bentuk nyata tanpa menunggu MoU teraplikasi seluruhnya.”
“Kita harus lebih banyak mendengar dan turun ke dalam masyarakat untuk melihat permasalahan riil rakyat dan memperjuangkannya di dalam pemerintahan, baik level (Provinsi) Aceh maupun level kabupaten/kota. Kita juga menyadari, penurunan perolehan suara Partai Aceh dalam dua kali pemilu yang ke belakang (Pemilu 2014 dan Pemilu 2019) lebih banyak disebabkan lemahnya manajemen partai dan pola sikap kader-kader kita yang memiliki jabatan di pemerintahan. Pun banyak keberhasilan yang telah dicapai Partai Aceh ternyata hal tersebut belum juga memuaskan rakyat,” tambah Mualem.
Mualem juga mengajak semua kader maupun simpatisan PA untuk memperbaiki diri dan bekerja lebih baik lagi agar rakyat yakin bahwa harapan mereka tidak tersia-siakan.
“Kita juga harus sadar bahwa kritikan-kritikan yang disampaikan rakyat kepada kita adalah bentuk rasa sayang rakyat kepada Partai Aceh. Mereka mengkritik karena mereka sadar dan yakin bahwa Partai Aceh lah satu-satunya tempat mereka menaruh harapan tentang Aceh yang sejahtera dan megah. Dan malah sebaliknya, kita harus takut ketika rakyat sudah berhenti mengkritik, karena itu merupakan tanda bahwa rakyat sudah tidak memperdulikan lagi Partai Aceh,” katanya.
“Marilah kita bangkit dan berubah dengan teriakan kruuu seumangat, serta kita tunjukkan kepada rakyat yang bahwa harapan dan cita-cita rakyat Aceh yang disandarkan kepada Partai Aceh akan kita perjuangkan dan kita wujudkan,” tegas Mualem.
Mengakhiri pidatonya, Mualem berharap, proses pendewasaan yang mengiringi umur 14 tahun ini dapat kembali membuat Partai Aceh berjaya dan mendapat kepercayaan rakyat Aceh pada Pemilu yang akan datang.
“Dan juga bagi seluruh kader serta simpatisan agar ke depan dapat bekerja lebih maksimal lagi untuk memenangkan Partai Aceh terutama pada Pemilu 2024 yang akan datang,” pungkas Mualem. (IA)