Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Kejaksaan RI Bercermin Integrity Membangun Negeri

Oleh: Dr Satria Ferry SH MH*

PENEGAKAN hukum dalam pengertian makro, yaitu meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses beracara di pengadilan, khusus dalam perkara pidana meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan tujuan penegakan hukum sejalan dengan tujuan hukum sendiri, adalah mewujudkan ketertiban dan lainnya adalah untuk tercapainya keadilan. Ketertiban akan sangat sulit dapat diwujudkan jika hukum diabaikan.

Keseriusan aparat penegak hukum dalam penegakan hukum didasari fakta dan kondisi nyata di lapangan. Tidak serta merta apa yang ada dalam peraturan perundang-undangan langsung dapat diterapkan dalam prakteknya, ataupun apa yang ada di lapangan merupakan pengaruh yang baik dari sistem peraturan perundang-undangan yang telah ada.

Harus ada sinergi dalam praktek kerja penegak hukum dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Penyataan di atas merupakan sebuah pengingat bagi para aparat penegak hukum dalam hal ini yang menjadi fokus adalah Kejakaan, terutama jika kita melihat kondisi korupsi yang semakin kritis, sehingga muncul banyak sekali ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus ataupun permasalahan korupsi.

Aparat penegak hukum seharusnya lebih jeli dalam membaca situasi dan kondisi masyarakat pada saat ini. Adapun beberapa komponen masyarakat Indonesia pada akhirnya menganggap penanganan kasus korupsi yang adil dan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang ada belum maksimal.

Kejaksaan Agung selama Tahun 2020 saat ini Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 19,2 triliun dan telah berkontribusi dalam penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp346,1 miliar.

Selain itu, bidang Perdata dan Tata Usaha Negara telah menyelamatkan keuangan negara sebanyak Rp239,5 triliun dan 11,8 dolar AS dan berhasil memulihkan keuangan negara sebanyak Rp11,1 triliun serta 406 ribu dolar AS.

Perkara besar yang sedang ditangani saat ini memiliki kerugian keuangan negara yang sangat fantastis, sehingga mencatatnya sebagai perkara yang paling besar dalam sejarah pemberantasan korupsi Indonesia mengalahkan perkara korupsi BLBI, Hambalang, ataupun Century.

Perkara besar tersebut adalah perkara tindak pidana korupsi investasi PT. Asuransi Jiwasraya kerugian keuangan negara lebih kurang Rp 16 triliun, disusul perkara tindak pidana korupsi PT. Asabri yang nilai kerugian negaranya mencapai Rp23,7 triliun, dan telah berhasil diselamatkan lebih kurang sebesar Rp13 triliun.

Capaian di atas menandakan jika roda organisasi Kejaksaan berjalan. Yang terpenting dari uang yang diselamatkan Kejaksaan tadi bahwa pola penanganan korupsi Kejaksaan Agung bukan lagi berapa banyak orang yang harus masukkan ke penjara, melainkan berapa besar kerugian keuangan negara yang bisa diselamatkan, keluarlah tagline “Follow the Money, Follow the Suspect and Follow the Asset.”

Kedaaan ini kembali memberi harapan dan kepercayaan baru bagi masyarakat kepada Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang ber integritas.

Hal terpenting sebenarnya adalah bukan saja kita menjaga harapan dan kepercayaan dari masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan, namun bagaimana Kejaksaan mempertahankan kinerja yang telah dicapai selama ini dengan terus menjaga integritas, karena integritas ini tertanam pada diri masing-masing setiap individu yang akan tercermin sebagai sikap kolektif sebagai lembaga, berkaitan dengan hal tersebut maka dipandang perlu untuk membahas makalah dengan judul “Bercermin Diri Dengan Integerity Demi Kemajuan Kejaksaan RI”.

Kejaksaan Bercermin Dengan Integrity

Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. Hal ini tentu menunjukan bahwa integritas ini dimulai dari diri sendiri, baru akan menjadi sikap kolektif ketika dijalankan sebagai sikap lembaga.

Sebagai lembaga penegak hukum, salah satunya dalam memberantas tindak pidana korupsi, Kejaksaan menjalankan tugas dengan professional, akuntabel, efektif dan ber integritas, dalam sebuah tulisannya Jeremy Pope juga berpendapat bahwa untuk dapat efektif sebuah lembaga harus:

a. Mendapat dukungan politik dari tingkat tertinggi pemerintah;
b. Memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan misinya;
c. Wewenang yang memadai untuk memperoleh dokumen dan untuk meminta keterangan dari saksi;
d. Memiliki undang-undang yang bersahabat dengan pemakai (termasuk menetapkan “penumpukan kekayaan dengan melanggar hukum “sebagai tindak pidana”); dan
e. Memiliki pimpinan yang dipandang mempunyai integritas tertinggi.

Pernyataan di atas yang menempakan integritas dengan kata sambung ‘dan’ berarti bersifat kumulatif, berarti semua syarat efektifitas suatu lembaga sebagaimana tersebut di atas harus terpenuhi semuanya, tidak akan berarti suatu lembaga yang mendapat dukungan politik dari tingkat tertinggi pemerintah, memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan misinya, wewenang yang memadai untuk memperoleh dokumen dan untuk meminta keterangan dari saksi, memiliki undang-undang yang bersahabat dengan pemakai, namun pemimpin lembaganya tidak memiliki integritas yang tinggi, hal ini menunjukan integritas menjadi juru kunci efektifitas berjalannya dengan baik sebuah lembaga penegak hukum.

Pelaksanaan tugas dalam pemberantasan korupsi tentunya harus dievaluasi secara terus menerus, untu mengetahui kondisi lembaganya dan kinerja yang sudah dilakukannya. Hal ini sangat penting untuk menjaga integritas dalam menangani pemberantasan korupsi dan juga untuk dapat menentukan langkah ke depan.

Menurut Jeremi Pope, integritas lembaga tersebut dapat dilihat melalui beberapa hal berikut:
1. Apakah lembaga memiliki sumber daya yang cukup?
2. Apakah anggota staf bebas dari campur tangan politik dalam melaksanakan tugas? Apakah ada “wilayah-wilayah terlarang” bagi penyidik?
3. Apakah staf mendapat pelatihan yang diperlukan?
4. Apakah staf mendapat gaji yang cukup?
5. Apakah kantor Presiden masuk ke dalam yurisdiksi badan? (jika ya, apakah staf cukup percaya diri untuk menggunakan wewenang itu, bila perlu?
6. Apakah staf dalam wilayah-wilayah sensitif diwajibkan mengikuti “uji integritas”?
7. Apakah ada mekanisme untuk memastikan bahwa lembaga sendiri tidak akan dapat menjadi sumber korupsi?
8. Dapatkah anggota staf yang diragukan integritasnya dengan cepat diberhentikan?
9. Apakah badan bertanggung jawab kepada eksekutif, legislatif, dan pengadilan publik?
10. Apakah prosedur pengangkatan kepala satuan kerja sedemikian rupa sehingga dapat menjamin orang yang akan diangkat benar­benar ahli, independen dari partai politik yang berkuasa, dan kemungkinan dapat melaksanakan tugas badan tanpa rasa takut atau enggan?
11. Bila telah diangkat, apakah kepala badan independen dari kendali politik dalam sehari-hari lembaga?

Dari hal tersebut di atas, keberhasilan lembaga juga harus mempunyai faktor pemicu, yaitu:
a. Adanya dukungan politik;
b. Lembaga berada dalam strategi antikorupsi yang komprehensif dan mendapat dukungan yang efektif dan komplementer dari lembaga publik;
c. Ekonomi yang stabil dan program pembangunan selalu fokus pada pengurangan kesempatan korupsi, sebagai contoh mengelola program privatisasi secara berhati-hati;
d. Ditunjang oleh sumber keuangan yang baik;
e. Memiliki visi dan misi yang jelas serta ditunjang pula oleh perencanaan bisnis, pengelolaan anggaran dan pengukuran kinerja yang baik.
f. Mempunyai kerangka hukum yang kuat termasuk “rule of law” dan dibekali oleh kekuatan hukum yang kuat yang dapat menunjang kegiatan penindakan dan pencegahan;
g. Bekerja secara independen dan bebas dari pengaruh segala kepentingan;
h. Semua staf dan pimpinan memiliki standar integritas yang tinggi.

Jika hal-hal tersebut tidak dapat dipenuhi, maka maka sebuah lembaga akan sulit sekali mempertahan integritas dan dikatakan gagal. Hal tersebut di atas dimaksudkan untuk dapat dijadikan masukan bagi Kejaksaan bagaimana seharusnya ke depan dalam membuat strategi atau program, sehingga dapat memperbaiki kekurangan lembaga maupun kinerja, menuju yang diharapkan masyarakat dan tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun program sebuah lembaga, yaitu:

  1. Bebas dari pengaruh politik (independen) Tidak ada formula khusus untuk memastikan independensi, di beberapa negara independen berarti ACA melaporkan langsung kepada parlemen dan tidak kepada eksekutif; di negara lain indepensi lebih ditekankan kepada jaminan anggaran dan tidak adanya politisasi dalam proses penyidikan. Karena karakteristik negara yang berbeda-beda maka bebasnya ACA dari pengaruh politik harus mendapat perhatian lebih.
  2. Peranan media dan masyarakat dalam mendukung gerakan anti korupsi dan ACA. Dengan adanya kesadaran masyarakat akan peran, kinerja dan penyidikan yang dilakukan ACA, media memperkuat dukungan politik untuk ACA dan meminimalkan kesenjangan antara ACA yang mungkin minim dalam hal anggaran, staf maupun dukungan politiknya.
  3. Apabila membicarakan sistem yang tepat untuk badan anti korupsi, apakah seperti ACA atau badan anti korupsi yang berbeda-beda untuk tiap negara maka tidak ada formula yang dapat diterapkan baik di Eropa maupun di negara lain di dunia. Penentuan badan anti korupsi seperti apa yang tepat sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah negara masing-masing serta masukan-masukan dari pimpinan politik, sektor publik, juga masyarakat.

Selain hal tersebut, tentunya diperlukan penilaian atau evaluasi keberhasilan lembaga. Adanya penilaian memang tidak memengaruhi keberhasilan, tetapi evaluasi tersebut akan sangat diperlukan dalam meningkatkan kinerja dan lembaga, tentunya dengan cara terus menerus diperbaharui akan tercapai suatu keberhasilan yang lebih besar.

Oleh karena itu, perlu dijaga beberapa strategi untuk mengatasi tindakan korupsi dalam pemerintahan, di antaranya sebagai berikut:
1. Adanya komisi yang independen
2. Prosedur pelaporan kepada setiap tingkatan pemerintah termasuk pejabat eksekutif, anggota parlemen, dan komite pengawas
3. Komitmen pemerintah untuk melaksanakan perubahan kebijakan yang secara politik memang sulit dilakukan.

Komisi independen dimaksud di sini lembaga penegak hukumnya independen, selain diawasi oleh lembaga independen pula, di mana dalam hal ini misalnya adanya Komisi Kejaksaan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 bertugas melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau Pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai peraturan perundang-undangan, kode etik, baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan, dan juga melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, tata kerja, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan.

Komisi memiliki perluasan kewewenangan, yaitu selain dapat mengambil alih permeriksaan, juga berwenang melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan apabila ada bukti atau informasi baru yang dalam pemeriksaan sebelumnya belum diklarifikasi dan/atau memerlukan klarifikasi lebih lanjut, atau pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak dikoordinasikan sebelumnya dengan Komisi Kejaksaan. Komisi Kejaksaan juga berwenang mengusulkan pembentukan Majelis Kode Perilaku Jaksa.

Menurut Jeremy Pope, prosedur pengangkatan pimpinan lembaga yang memiliki tugas memberantas korupsi, harus berpijak pada prinsip bahwa tugas mengawasi eksekutif, khususnya partai politik yang sedang berkuasa.

Di samping itu, prosedur yang baik adalah prosedur yang dapat memastikan orang yang terpilih adalah orang yang independen dan mempunyai integritas tinggi dan ia mendapat perlindungan yang memadai selama memangku jabatan.

Sebagaimana di beberapa negara lain, pemilihan pimpinan lembaga yang menangani perkara korupsi juga dilakukan dengan sangat selektif karena diperlukan pemimpin yang kredibel, mempunyai integritas, dan profesional. Pemilihannya hampir sama, tergantung pada kondisi negara.

Contohnya Australia, calon pemimpin diusulkan oleh menteri kepada Joint Committee yang dapat memveto calon yang diusulkan oleh menteri, dan menteri juga dapat mencabut usulnya. Calon pimpinan itu diangkat oleh Gubernur. Di Thailand, Ketua Senat membentuk komite seleksi, komite seleksi memilih calon yang akan diusulkan kepada ketua senat. Kemudian calon yang terpilih sebagai pimpinan badan anti korupsi diangkat oleh raja. Dalam konstitusinya Thailand mencantumkan mekanisme akuntabilitas publik bagi mereka yang menduduki jabatan politik dan pejabat tinggi. Selain bisa dicopot dari jabatannya, juga ada proses pengadilan khusus satu tahap untuk pejabat atau politikus yang diduga korup. Konstitusi Thailand membawa dua misi, yaitu membentuk pemerintahan yang bersih dan memberantas korupsi.

Hal yang terpenting dalam pengangkatan pimpinan Kejaksaan, harus benar-benar kredibel agar proses seleksi dilakukan independen, transparan, dan objektif.

Jika bisa dipublikasikan terlebih dahulu, sehingga masyarakat dapat memberikan tanggapan tentang calon pimpinan, hal ini untuk mendapatkan calon pimpinan yang benar-benar kredibel selain telah memenuhi syarat-syarat ketentuan internal. Keadaan seperti inilah yang dimaksud Kejaksaan bercermin dengan “integrity”, akankah kita bisa mencapai hal seperti ini.

Integrity Demi Kemajuan Kejaksaan RI Membangun Negeri

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara, terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka, dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, pada pokoknya diuraikan “Kewenangan penyidikan dalam ketentuan ini misalnya dalam hal terjadi tindak pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat dan Korupsi”. Bahkan, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Kejaksaan juga berwenang melakukan tindakan penyidikan TPPU, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 74 “Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini”.

Mengingat Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila ditemukan adanya TPPU saat menyidik perkara tindak pidana korupsi, maka penyidikan TPPU tersebut dilakukan bersama-sama dengan penyidikan tindak pidana korupsinya.

Memperhatikan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki dual functions dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, yakni sebagai Penyidik sekaligus Penuntut Umum, menempatkan Kejaksaan memiliki peran strategis untuk menentukan kecepatan, ketepatan, dan tingkat keberhasilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, peran ganda Kejaksaan sebagai Penyidik dan Penuntut Umum perkara tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, profesional, dan menjunjung tinggi hati nurani, mengingat tujuan penegakan hukum bukan sekadar mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid) dan keadilan (gerechtigheid), tetapi juga kemanfaatan hukum (doelmatigheid).

Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka dikeluarkanlah kode perilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.

Dalam kode perilaku jaksa antara lain disebut:
1. Menaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku.
2. Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
3. Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran.
4. Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan/ancaman opini publik secara langsung atau tidak langsung.
5. Bertindak secara objektif dan tidak memihak.
6. Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa maupun korban.
7. Membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.
8. Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung.
9. Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan.
10. Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundangundangan dan instrumen Hak Asasi Manusia yang diterima secara universal.
12. Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana.
13. Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
14. Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.
Keseriusan dalam penegakan hukum yang profesional dan ber integritas diperlukan untuk kewibawaan negara sebagai negara hukum akan menjadi pertaruhan, karena hal ini akan menyebabkan terjadinya mistrust and distrust terhadap penegak hukum dan hukum itu sendiri dihadapkan masyarakat.

Berkaitan dengan persoalan-persoalan di atas, maka wajar apabila Harkristuti Harkrisnowo menegaskan bahwa stigma negatif masyarakat terhadap aparat penegak hukum di Indonesia dewasa ini merupakan suatu situasi yang sangat menyedihkan semua pihak.

Hukum di Indonesia seolah telah mencapai titik nadir, telah mendapat sorotan yang luar biasa, dari dalam negeri maupun internasional. Proses penegakkan hukum acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsistensi dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Maka perlu diupayakan tegaknya kewibawaan penegakan hukum dengan membangun sistem penegakan hukum memiliki integritas.

Mendasarkan pada pandangan Han Kelsen tersebut bahwa untuk memahami sebuah hukum sebagai sistem tidaklah mungkin jika hukum itu dipahami hanya sebagai peraturan (substansi hukum) yang berdiri sendiri.

Sistem hukum sendiri menurut Larence M. Friedman terdiri atas Struktur, Substansi dan Kultur, yang dalam pandangannya Kultur merupakan komponen yang sangat penting dan menentukan bekerjanya sistem hukum, di mana kultur hukum tersebut merupakan elemen sikap dan nilai sosial.

Pandangan Lawrence M. Friedman tersebut secara sepintas agak berbeda dengan pandangan kaum positivistik mengenai sistem hukum, dimana menurut pandangan Taverne yang sangat terkenal dalam teori hukum: Geef me geode rechters, goede rechter commissarisson, goede officeren van justitie en goede politie ambetenaren, en ik zal met een slecht wet boek van strafprocesrecht het geode bereiken (berikan kepada saya hakim-hakim yang baik, hakim-hakim komisaris yang baik jaksa-jaksa yang baik dan petugas-petugas polisi yang baik dan walaupun saya dibekali dengan kitab undang-undang pidana yang buruk (namun) saya akan dapat melaksanakan tugas dengan baik.

Pernyataan di atas menunjukan peran penting integritas dari seorang penegak hukum yang meskipun subtansi dan kultur tidak baik dapat dilaksanakan penegakan hukum yang baik, apalagi dalam keadaan telah memiliki substansi dan kultur hukum yang baik, penegakan hukumnya tentu tidak akan diragukan lagi.

Pandangan Taverne tersebut menempatkan struktur (lembaga penegak hukum) sebagai komponen yang sangat menentukan bagi bekerjanya hukum dalam sistem hukum.
Pandangan serupa juga tercermin dari apa yang dirumuskan oleh Soerjono Soekanto bahwa hukum dapat merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang primer dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa (prestigeful);
Hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filososfis maupun sosiologis;
Penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi kepatuhan terhadap hukum;
Diperhatikannya pengedepan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
Para penegak hukum dan pelaksanaan hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola prilakunya;
Sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan hukum;
Perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.

Jika dicermati lebih teliti maka pada hakikatnya kulturlah yang menentukan karena kultur terebut tidak saja dipandang dari sisi eksternal seperti kesadaran hukum masyarakat pada umumnya, tapi juga kultur tersebut harus dipandang sebagai kultur dalam lingkup internal lembaga penegak hukum.

Melalui kultur internal yang baik, maka perjalanan bagi sebuah proses bekerjanya hukum akan baik. Dengan tumbuh kembangnya kultur yang baik dalam lingkup lembaga penegak hukum diharapkan tidak ada pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan yang bersifat parsialitas dan ego sektoral, di mana masing-masing lembaga hanya memikirkan lembaganya masing-masing bukan memikirkan masyarakat, bangsa dan negara.

Guna menegakan hukum dan sekaligus menciptakan kepercayaan publik diperlukan kultur kolektif di antara penegak hukum itu sendiri, tentu kultur kolektif tersebut bukan hanya diperlukan bagi pemberantasan korupsi semata tetapi juga bagi proses bekerjanya hukum pidana dalam sistem hukum.

Kultur kolektif ini perlu disadari dan diperhatikan dengan baik oleh setiap orang yang bekerja dalam sistem hukum, bahwa hukum (komponen substansi) dalam rumusan-rumusan yang terkandung dalam bentuk peraturan-peraturan atau teks-teks hukum merupakan benda mati yang bersifat abstrak.

Sebagai benda mati dan abstrak ia memerlukan komponen penggerak yaitu struktur, agar hukum tadi hidup dan menjelma dalam wujud yang konkret.
Peraturan-peraturan hukum yang tercantum seolah-olah sesuatu yang sedang tidur dan akan bangun jika ada sesuatu yang menggerakkannya yaitu peristiwa hukum yang diidentidikasi oleh penegak hukum masuk ke dalam kualifikasi tindak pidana sehingga diperlukan langkah-langkah tindak lanjutnya dengan tindakan hukum oleh penegakan hukum sebagaimana mestinya.

Harus diperhatikan dengan seksama bahwa dalam melakukan tindakan hukum atau penegakan hukum maka, penegak hukum tidak semata-mata bekerja hanya melihat hukum dalam landasannya sebagai kepastian hukum semata, tetapi juga harus juga berpijak pada landasan-landasan lain yang sangat penting, landasan-landasan tersebut dirumuskan oleh Radbruch sebagai nilai- nilai dasar hukum yaitu, kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

Tindakan hukum oleh penegak hukum dengan memperhatikan ketiga nilai dasar hukum tersebut diharapkan akan mampu menciptakan iklim yang baik dalam proses penegakan hukum pidana, yang berarti juga akan mendapat simpati masyarakat luas, karena dengan demikian masyarakat akan menyadari betapa pentingnya hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Perlu juga disadari bahwa membangun kultur yang baik, sehingga mewujudkan kultur kolektif tidaklah mudah, hal tersebut juga diakui oleh Satjipto Rahardjo bahwa perubahan kultur merupakan perubahan yang besar dan masih membutuhkan pengkajian dan penelitian yang seksama.

Salah satu upaya melakukan perubahan kultur agar sistem hukum dapat bekerja secara baik dan memiliki integritas, maka perlu diupayakan peningkatan pendidikan dan pengetahuan, sehingga dengan demikian penegak hukum yang merupakan komponen struktur dalam sistem hukum tidak hanya memandang hukum sebagai kumpulan teks semata.

Dengan pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai hukum diharapkan akan mampu menegakan hukum dengan baik, tanpa harus terganggu oleh berbagai kepentingan-kepentingan tertentu, kecuali kepentingan terhadap kebenaran dan keadilan sehingga hukum dalam penegakannya mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Untuk itulah diperlukan sumber daya manusia (penegak hukum pidana ) yang handal, yang tidak hanya sekedar cerdas tapi juga bermoral.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa peningkatan kualitas SDM penegak hukum akan menciptakan penegak hukum yang bersih dan berwibawa, yang jujur dan bermoral, tidak korup dan dapat dipercaya menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, peningkatan kualitas pendidikan akan menciptakan penegak-penegak hukum yang al-amin (dapat dipercaya), karena tidak hanya sekedar memahami hukum homo juridicus) tetapi juga memiliki etika/moral atau yang disebut dengan “homo etichus”. Oleh karena itu menegakkan wibawa hukum pada hakikatnya menegakan nilai kepercayaan di dalam masyarakat.

Kesimpulan

Saat bercermin dengan integritas, Kejaksaan menemukan beberapa hal penting, dimana sebagai lembaga penegak hukum memerlukan langkah dan strategi atau program membangun sistem penegakan hukum yang baik, sehingga dapat memperbaiki kekurangan lembaga maupun kinerja, menuju yang diharapkan masyarakat dan tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur.

Untuk membangun sistem penegakan hukum pidana yang baik dan berwibawa, maka diperlukan integritas penegak hukum yang handal dan bermental tangguh serta memiliki pemahaman hukum yang utuh.

Untuk itu perlu diupayakan peningkatan pendidikan dan pengetahuan bagi penegak hukum sehingga tidak hanya memahami hukum sebagai kumpulan teks-teks dalam peraturan perundang-undangan semata, tetapi memahami dengan baik tentang makna hukum secara lebih luas dan terperinci bahwa penegakan hukum tidak hanya pada tataran kepastian hukum tapi pada tataran keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Aspek terpenting bagi bekerjanya sistem hukum adalah budaya hukum atau kultur hukum, yang menyangkut kultur hukum secara ekternal dan internal. Kultur hukum inilah yang memiliki fungsi sebagai motor penggerak agar setiap orang menaati hukum dengan baik. Kultur hukum juga merupakan pengukuh kultur hukum dalam sistem kelembagaan, di mana lembaga-lembaga hukum akan dapat bekerja sebagaimana layaknya sebuah sistem, sehingga mampu meninggalkan kultur parsial dan ego sektoral.

Semua itu akan tumbuh dan berkembang jika kontrol sosial dapat berjalan secara baik dan wajar. Kontrol sosial tersebut dapat dijalankan dalam bentuk kritik yang kontstruktif bagai setiap elemen penegak hukum.

*Penulis Anggota Satgassus Tipikor pada Jampidsus Kejaksaan Agung RI

Lainnya

Penebangan satu batang pohon Jeju (soga) di kawasan wisata Pantai Ulee Lheue memantik amarah dan keprihatinan warga kota Banda Aceh. (Foto: Ist)
Budi Arie Tak Tersentuh, Haruskah Menunggu Hukuman Tuhan?
KPK Usut Permintaan Komitmen Fee Pengadaan di MPR
Di E-commerce Hanya Rp259 juta
Tom Lembong Dituntut 7 Tahun Penjara di Kasus Impor Gula
Beathor Akui Pernah Kagumi Jokowi, Kini Dipecat Usai Ungkap Dugaan Ijazah Palsu
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Neng Eem Marhamah
Gus Jazil
Novita Sari, Dosen PRODI Psikologi, FK,  USK. (Foto: Humas USK)
Polsek Banda Raya bersama Unit Patroli Presisi Ditsamapta Polda Aceh mengamankan 7 remaja terlibat balap liar saat shalat Jum'at di belakang Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya, Banda Aceh, Jum'at (4/7). (Foto: Ist)
Anggota Polda Jateng Diduga Terlibat Judol dan Berzina dengan 2 Perempuan, Kini Dipatsus
Luhut Sedih Gegara Jasa Jokowi Seolah Dilupakan
'Saya Tertipu Citra Jokowi' Pengakuan Saiful Huda, dari Loyalis Jadi Pengkritik Paling Keras!
Kompol Syarif Diperiksa Soal Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menjadi salah satu pembicara pada Konferensi Iklim Internasional di Cordoba, Argentina. (Foto: Ist)
Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 26 Juni 2025
Kita Enggak Tahu, MA yang Memutuskan
Ketua DPRA Zulfadhli tampak mendampingi Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem pada pertemuan dengan Fraksi Gerindra DPR RI di Jakarta, Jum'at (4/7/2025). (Foto: Ist)
Bea Cukai Meulaboh bersama Satpol PP Kota Subulussalam telah melaksanakan operasi gabungan dalam rangka pemberantasan rokok ilegal, pada Kamis, 3 Juli 2025. (Foto: Ist)
Masyarakat menyerahkan berkas permohonan bantuan di Kantor Baitul Mal Aceh (BMA), Jum'at (4/7). Hingga semester I tahun 2025, BMA menyalurkan dana zakat Rp19,647 miliar kepada 11.824 mustahik se-Aceh
Enable Notifications OK No thanks