Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

LWN, Malek Mahmud dan Zakaria Saman

Oleh: Ghazali Abbas Adan*

SETIAP menulis sesuatu yang bersinggungan dengan Lembaga Wali Nanggroe (LWN), saya senantiasa tidak dapat melupakan pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Prof Dr Yusri Ihza Mahendra SH, salah seorang yang tahu persis asbabul wurud LWN dan saya sepakat dengannya, ialah LWN hanya menjadi maqam pengabdian Almukarram wal Muhtaram Dr Tgk Hasan Muhammad di Tiro sampai akhir hayatnya sekaligus sebagai penghormatan kepada beliau.

Dan memang untuk menempati maqam Wali Nanggroe rekam jejak nasab beliau sudah jelas sekali. Demikian pula rekam jejak keilmuannya, baik penguasaan ilmu-ilmu fardhu ‘ain (ilmu agama Islam) maupun ilmu-ilmu fardhu kifayah (ilmu-ilmu kebutuhan kontemporer) tidak diragukan kemampuan beliau.

Namun qadarullah, sebelum menempatinya, Allahu yarhamuh sudah kembali ke alam baqa, Allaahummaghfir lahuu warhamhuu wa’aafihii wa’fu ‘anhu. Karena figur yang paling berhak dan paling tepat menempati maqam Wali Nanggroe sudah kembali ke alam baqa, saya mengusulkan dalam revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dihapus saja.

Namun karena faktanya LWN sudah dan sampai saat ini masih termaktub dalam UUPA, sehingga konsekuensi obyektifnya lembaga ini harus diisi. Dan untuk mengisinya sudah jelas kriteria, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya itu dengan terang benderang termaktub dalam UUPA.

Nah, untuk kemudian dengan berbagai cara yang didesain demikian rupa ditempatkanlah Malek Mahmud sebagai “wali nanggroe”. Kendati faktanya pula, mengacu kepada kriteria dan tupoksi LWN dalam UUPA sejatinya Malek Mahmud bukanlah maqam (neuduek) nya sebagai Wali Nanggroe, dan hal ini sudah teramat sering saya ungkapkan dalam tulisan-tulisan saya.

Bahwa posisi dan sosok Wali Nanggroe itu harus orang yang berwibawa, dan tentu wibawa itu muncul bersamaan dengan rekam jejak nasab dan rekam jejak keilmuan, baik ilmu-ilmu fardhu kifayah, terutama ilmu-ilmu fardhu ‘ain, sesuai (muwafiq) dengan Aceh sebagai Nanggroe Syariat Islam.

Terhadap kriteria ini dan kualitas personalnya, sudah sekian lama dicokolkan sebagai “wali nanggroe”, dari sosok Malek Mahmud tidak pernah kelihatan.

Juga Wali Nanggroe itu haruslah independen dan imparsial (non partisan), tetapi faktanya Malek Mahmud itu terikat dan tidak dapat melepaskan dirinya dengan “ideologi” chauvinistik dan sangatlah pertisan, karena ia tetap “istiqamah” sebagai pengurus teras salah satu pertai politik.

Akan halnya kemampuan menjalankan tupoksi sebagaimana amanah konstitusi negara (UUPA), yakni yang paling utama adalah sebagai pemersatu rakyat Aceh. Ini uga tidak mampu dilaksanakan. Alih-alih memparsatu dan meungukhuwahkan rakyat di semua zona dalam teritori Nanggroe Aceh, baik ukhuwah basyariyah maupun ukhuwah Islamiyah, mempersatukan/mendamaikan eksekutif dan legislatif Aceh yang kerap dan berulang-ulang mempertontonkan dinamika tidak elok dan tidak kompak sehingga merugikan rakyat banyak yang terjadi di depan hidungnya, juga tidak mampu dia lakukan.

Sekaitan pula dengan Aceh sebagai daerah yang legal formal sesuai konstitusi negara (UUPA) berlaku dan diberlakukan syariat Islam secara kaffah, yakni apapun aktivitas/profesi yang dilakukan di Aceh harus sesuai syariat Islam, juga tidak pernah terdengar suara taushiyah dan petuah berdasarkan nash Alquran dan hadits keluar dari mulut dan teladan dari Malek Mahmud tentang hal ini.

Sudah bertalu-talu rakyat memintanya keliling seluruh teritori Aceh, masuk ke masjid-masjid menjadi imam salat, dan melalui khutbah jum’at dan/atau ceramah bebas di depan khalayak menyampaikan taushiyah penegakan syariat Islam kaffah, memperkokoh persatuan, persaudaraan (ukhuwah) antara masyarakat yang majemuk (agama, suku dan adat istiadat), memantapkah akhlak mulia (akhlak karimah) terutama bagi generasi muda, karena sebagaimana kerap diberitakan media massa akhir-akhir ini terjadi dekadensi moral dengan rupa-rupa perilaku yang tidak sesuai dengan undang-undang negara, wabil khusus syariat Islam.

Betapa dari mulut Malek Mahmud pun tidak pernah terdengar gaung dan gemanya. Kalau hanya urusan peusijuek-peusijuek, emak-emak di kampung pun cukup sering dan sangat ahli melakukannya. Atau sekedar wira wiri petantang-petenteng dengan tampilan pakaian khusus sembari menerima panggilan/sanjungan mentereng, tidaklah harus karena didudukkan dalam lembaga yang setiap tahun menguras uang rakyat puluhan miliar rupiah.

Karana semua itu tidak memberi manfaat apapun untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Dikaitkan dengan fenomena Malek Mahmud yang memang cukup enjoy, senang dan nyaman menikmati jabatan dengan rupa-rupa fasilitas mewah, kendati sejatinya berdasarkan kualitas personal Wali Nanggroe bukanlah maqam (neuduek) nya dan juga tidak mampu melaksanakan tupoksinya, adalah Zakaria Saman, yang populer dan akrab dipanggil Apa Karya, sosok yang sangat pupulis, karenanya beliau sangat dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat di Aceh.

Beliau teramat sering mengeluarkan pernyataan dan menunjukkan sikap yang kadang-kadang menjadikan sebagian pihak terkaget-kaget, juga pernyataan beliau terbaru sebagaimana diberitakan media massa (Senin, 6 September 2021), yakni “Rp 86 triliuan dana Otsus kemana di bawa” dengan penjelasan yang panjang lebar tentang seluk beluk dan sejatinya dana otsus itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh rajyat.

Saya kira pertanyaan Apa Karya tentang dana Otsus itu adalah juga pertanyaan rakyat Aceh selama ini yang harus dijawab oleh pemangku amanah di Aceh.

Demikian pula dengan respon positif beliau berkaitan dengan pemilihan gubernur/wakil gubernur dalam pilkada di Aceh tahun 2024. Dan yang tak kalah menarik menurut saya adalah pernyataan Apa Karya ketika disinggung tentang kesediaannya menjadi Wali Nanggroe, dengan tegas menjawabnya tidak mau.

Menurut Apa Karya, “Wali Nanggroe selain mengerti agama, juga harus mengerti negara. Bagaimana anak-anak saya (rakyat) jangan sampai kelaparan seperti saat ini. Makanya saya katakan tidak mau jika diminta jadi Wali Nanggroe. Ada yang menawarkan kepada saya, saya katakan tidak. Saya bersumpah tidak mau, karena terlalu besar tanggungjawabnya. Pertama sekali dengan Allah, yang kedua dengan masyarakat, tanggungjawab di dunia dan akhirat. Di dunia ini kita hanya sebentar lagi hidup, setelah itu kita mati menuju akhirat.”

Betapa pernyataan Apa Karya ini penuh makna yang merupakan cerminan akhlakul karimah dalam kaitannya dengan pengembanan dan pertanggungjawaban amanah jabatan publik.

Ini berbanding terbalik dengan karakter Malik Mahmud yang terkesan nekat, pèt mata, kap igoe ketika dicokolkan pada jabatan yang full merupakan amanah publik itu, sementara sosok dan kualitas personalnya sebagaimana saya deskripsikan di atas itu. Dia merasa enjoy dan nyaman-nyaman saja menikmatinya.

Sungguh luar biasa, dan agaknya Malek Mahmud sudah bersiap-siap untuk periode-periode selanjutnya, atau boleh jadi seumur hidup, hal ini seiring dengan rencana Pansus DPRA berkaitan dengan revisi beberapa pasal Qanun Lembaga Wali Nanggroe, sebagaimna saya baca di media massa, dengan dibumbui rupa-rupa dalih pansus mengusulkan hendaknya dalam Rancangan Qanun Wali Nanggroe periodesasi Wali Nanggroe tidak dibatasi dua periode jabatan (Jum’at, 3 September, 2021).

Bagi saya, mengacu kepada dalil-dalil konstitusi negara serta fakta-fakta yang saya paparkan, dengan pemahaman melaksanakan fardhu kifayah, kendati hanya sendirian dan dengan risiko, apapun saya tetap berpendapat dan bersikap, sesungguhnya Wali Nanggroe bukanlah maqam (neuduek) nya Malek Mahmud.

Hasbiyallaahu wani’mal wakiil, laa hawla walaa quwwata illaa billaah.

*Penulis Adalah Mantan Anggota Parlemen RI

Lainnya

Penebangan satu batang pohon Jeju (soga) di kawasan wisata Pantai Ulee Lheue memantik amarah dan keprihatinan warga kota Banda Aceh. (Foto: Ist)
Budi Arie Tak Tersentuh, Haruskah Menunggu Hukuman Tuhan?
KPK Usut Permintaan Komitmen Fee Pengadaan di MPR
Di E-commerce Hanya Rp259 juta
Tom Lembong Dituntut 7 Tahun Penjara di Kasus Impor Gula
Beathor Akui Pernah Kagumi Jokowi, Kini Dipecat Usai Ungkap Dugaan Ijazah Palsu
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Neng Eem Marhamah
Gus Jazil
Novita Sari, Dosen PRODI Psikologi, FK,  USK. (Foto: Humas USK)
Polsek Banda Raya bersama Unit Patroli Presisi Ditsamapta Polda Aceh mengamankan 7 remaja terlibat balap liar saat shalat Jum'at di belakang Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya, Banda Aceh, Jum'at (4/7). (Foto: Ist)
Anggota Polda Jateng Diduga Terlibat Judol dan Berzina dengan 2 Perempuan, Kini Dipatsus
Luhut Sedih Gegara Jasa Jokowi Seolah Dilupakan
'Saya Tertipu Citra Jokowi' Pengakuan Saiful Huda, dari Loyalis Jadi Pengkritik Paling Keras!
Kompol Syarif Diperiksa Soal Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menjadi salah satu pembicara pada Konferensi Iklim Internasional di Cordoba, Argentina. (Foto: Ist)
Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 26 Juni 2025
Kita Enggak Tahu, MA yang Memutuskan
Ketua DPRA Zulfadhli tampak mendampingi Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem pada pertemuan dengan Fraksi Gerindra DPR RI di Jakarta, Jum'at (4/7/2025). (Foto: Ist)
Bea Cukai Meulaboh bersama Satpol PP Kota Subulussalam telah melaksanakan operasi gabungan dalam rangka pemberantasan rokok ilegal, pada Kamis, 3 Juli 2025. (Foto: Ist)
Masyarakat menyerahkan berkas permohonan bantuan di Kantor Baitul Mal Aceh (BMA), Jum'at (4/7). Hingga semester I tahun 2025, BMA menyalurkan dana zakat Rp19,647 miliar kepada 11.824 mustahik se-Aceh
Enable Notifications OK No thanks