Kapolda Aceh Pugar Makam Habib Bugak Al Asyi di Bireuen
BANDA ACEH — Kapolda Aceh Irjen Pol Ahmad Haydar menginisiasi pemugaran makam Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyie atau yang dikenal Habib Bugak Al-Asyi yang berlokasi di Desa Pante Peusangan Bugak, Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen.
Habib Bugak Al Asyi dikenal sebagai pewakaf tanah di Mekkah dan hasilnya kini dinikmati jamaah haji asal Aceh.
“Habib Abdurrahman Al Habsyi ini ulama yang sangat berjasa untuk masyarakat Aceh, terutama untuk jamaah hajinya,” kata Ahmad Haydar dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (18/1) seperti dilansir dari detikcom.
Haydar menginisiasi pemugaran setelah berziarah ke makam Habib Bugak pada September 2021. Saat itu Irjen Pol Ahmad Haydar sempat berbincang dengan keluarga Habib Bugak serta masyarakat setempat.
Jenderal bintang dua itu berharap, setelah dipugar, makam Habib Bugak dapat menjadi destinasi wisata religi nasional. Peziarah diharapkan akan merasa nyaman saat berziarah ke makam tersebut.
“Saya berharap, dengan dilakukannya pemugaran makam Habib Bugak Al-Asyi, ini bisa menjadi wisata religi nasional yang di mana akan terasa nyaman dan indah apabila datang peziarah dari mancanegara ataupun domestik,” jelas Haydar.
“Oleh karena itu, saya harap untuk pemerintah provinsi dan daerah bisa membantu untuk melakukan pemugaran makam ini,” jelas Haydar.
Kabid Humas Polda Aceh Kombes Winardy mengatakan pemugaran makam tersebut juga untuk mengingat sejarah tentang sosok Habib Bugak. Selain itu, makam tersebut juga nantinya dapat menjadi tujuan wisata islami atau religi.
“Ini juga dapat mengangkat UMKM yang bisa berusaha di tempat yang disediakan di daerah makam sehingga menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar makam,” jelas Winardy.
Sosok Habib Bugak
Ikrar wakaf yang dilakukan Habib Bugak Al Asyi dua abad yang lalu hasilnya masih bisa dinikmati oleh jemaah haji asal Aceh sampai saat ini. Berawal dari inisiatif Habib Bugak bahkan sejak dia belum berangkat ke Tanah Suci.
Awal mula cerita ini terjadi pada 1800-an. Habib Bugak, yang saat itu masih berada di Aceh, sudah memiliki gagasan untuk mengumpulkan uang guna membeli tanah di Mekah untuk diwakafkan kepada jemaah haji.
“Selain dari dana yang dimilikinya sendiri, Habib Bugak menjadi inisiator pengumpulan dana dari masyarakat Aceh saat itu,” ujar petugas Wakaf Baitul Asyi, Jamaluddin Affan, Kamis (07/08/2018).
Pada masa lalu, perjalanan haji dilakukan menggunakan kapal laut, yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sampai tahunan. Tak sedikit jamaah haji yang kemudian menetap di Arab Saudi.
“Saat itu bahkan belum ada Kerajaan Arab Saudi seperti sekarang ini. Belum ada Indonesia. Di Mekah sini masih dikuasai oleh Turki Utsmani,” kata Jamal.
Ketika Habib Bugak berangkat ke Tanah Suci, dia sudah membawa bekal dana untuk wakaf. Begitu sampai, niatan wakaf itu direalisasikannya. Dia membeli tanah yang lokasinya kala itu persis di samping Masjidil Haram.
Di atas tanah itu didirikan penginapan untuk menampung jamaah asal Aceh. Jamaah tak lagi bingung mencari tempat tinggal selama berada di Mekkah.
“Ketika Turki pergi, pemerintahan berganti. Pemerintah kala itu kemudian melakukan penataan, perapian administrasi. Setiap tanah termasuk tanah wakaf harus ada penanggung jawabnya. Harus ada satu nama yang bertanggung jawab,” ujar Jamal.
Para tokoh yang ikut menyumbang dana untuk tanah wakaf itu kemudian bersepakat agar Habib Bugak menjadi penanggung jawab dari tanah itu. Habib Bugak sempat menolak.
“Habib Bugak sempat menolak karena dia tidak ingin ketika namanya digunakan sebagai penanggung jawab wakaf, dana tersebut akan diambil keluarganya. Habib Bugak murni ingin agar tanah wakaf itu digunakan untuk kepentingan jamaah Aceh,” kata Jamal.
Akhirnya di depan mahkamah pencatatan wakaf, dimasukkanlah syarat mengenai penggunaan tanah wakaf itu maupun hasil uang dari pengelolaannya. Habib Bugak–yang akhirnya setuju namanya dipakai sebagai penanggung jawab–dalam ikrarnya menyatakan bahwa wakaf itu hanya diperuntukkan buat jamaah asal Aceh.
“Jadi syarat itu mengikat, hanya untuk jamaah haji asal Aceh. Baik mereka yang sudah menjadi warga negara di Saudi maupun yang statusnya mukimin,” tutur Jamal.
Lalu, saat Masjidil Haram diperluas, tanah wakaf ini kena dampaknya. Oleh nadzir (pengelola) wakaf, uang ganti rugi digunakan membeli dua bidang tanah di kawasan yang berjarak 500-an meter dari Masjidil Haram. Tanah itu dibangun hotel oleh pengusaha dengan sistem bagi hasil. Dari situlah, ‘bonus’ untuk jemaah Aceh mengalir tiap musim haji.
Petugas nadzir wakaf Syaikh Abdulatif, yang kini bertanggung jawab dalam pembagian uang, mengatakan dulu tanah wakaf hanya jadi tempat penginapan sederhana. Kini sudah jadi hotel. Jadi keuntungan bisa dibagikan ke jamaah Aceh. (IA/dtc)