Kaya Bukan Untuk Pamer dan Berprilaku Hedonisme
Imam Shamsi Ali*
Di antara keunikan ajaran agama Islam adalah “keseimbangan dan kesesuaian” (Appropriateness). Dalam segala hal keseimbangan dan kesesuaian menjadi pegangan dalam bersikap, bahkan dalam sikap beragama. Karakter “wasathiyah” sejatinya menggambarkan keduanya.
Keseimbangan dan kesesuaian juga menjadi penekanan penting dalam menyikapi kehidupan dunia. Upaya keseimbangan dan kesesuaian inilah yang menjadikan dunia dalam Al-Quran, di satu sisi harus dibangun semakmur-makmurnya.
Namun di sisi lain diingatkan marabahaya yang dapat ditimbulkannya. Karenanya dunia diingatkan sebagai “permainan yang melalaikan” (la’ibun wa lahwun). Bahkan juga dikategorikan sebagai “kesenangan yang menggoda” (mataa’ al-ghuruur).
Sikap Islam ini, yang di satu sisi mendorong mencari dunia (wabtaghuu min fadhlilllah) dan di sisi lain mengingatkan konsekwensi buruknya, merupakan dasar urgensi menyikapi dunia secara berimbang dan berkesesuaian.
Sikap Islam terhadap kehidupan dunia ini terekspresi dengan peringatan Allah di Surah Al-Baqarah: “Dan bagimu di atas bumi ini kesenangan (mataa’) hingga pada batas yang tertentu (ilaa hiin).
Realita ini yang kemudian tersimpulkan dalam doa sapu jagat umat: “Rabbana aatina fiddun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa azaaban naar”.
Kaya vs Hedonis
Sesungguhnya kata “ghinaa” dalam bahasa Islam (Al-Quran dan Sunnah) lebih merujuk kepada keadaan batin yang terpuaskan dengan realita kehidupannya. Bukan pada bentuk dan kuantitas kehidupan dunia yang digenggamnya. Rasulullah SAW menekankankan: “kekayaan itu bukan banyaknya harta. Tapi kekayaan itu adalah kepuasan jiwa (ghina an-nafs)”.
Poin terpenting dari realita ini adalah bahwa kekayaan itu banyak terkait dengan sikap batin (mentalitas) manusia. Dan karenanya seseorang yang memiliki harta yang banyak atau sebaliknya memiliki harta yang kurang, keduanya dapat merasakan kekayaan itu ketika memiliki batin atau mentalitas yang sehat.
Sehatnya mental seseorang itulah sejatinya yang akan terekspresi dalam karakter dan prilakunya. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah: “Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah yang jika baik, seluruh anggota tubuh baik. Tapi jika rusak, seluruh anggota tubuh rusak. Itulah sesungguhnya hati (kejiwaan dan sikap mental)”.