Pokir DPRA dan ‘Jatah’ Forkompinda Meresahkan Dunia Usaha di Aceh
DEPUTI Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Didik Agung Wijanarko dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi terintegrasi dengan Pimpinan DPRA dan DPRK se-Aceh beberapa waktu lalu, mengingatkan seluruh pimpinan DPR di Aceh untuk memahami kembali manajemen pokok-pokok pikiran (pokir) karena pada area tersebut menjadi sisi yang rawan para anggota DPR melakukan tindakan korupsi.
Mungkin yang penting juga diingatkan oleh KPK, adalah praktek terselubung bagi-bagi jatah paket APBA di lingkungan Forkompimda.
Apa jadinya jika korupsi sistemik yang merupakan extraordinary crime, melibatkan seluruh pemangku kebijakan di suatu negeri.
Pertanyaan yang amat mudah menjawabnya, yaitu terjadinya ketidakadilan dan kemiskinan akut yang diderita rakyat tidak berkesudahan.
Pokir DPRA merujuk kepada Pasal 161 UU Nomor 23/2014 menegaskan bahwa anggota DPRD berkewajiban menyerap, menghimpun dan menampung serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Kemudian diperkuat dengan Pasal 54 PP Nomor 12/2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa Badan Anggaran mempunyai tugas dan wewenang memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD.
Kemudian muncul persoalan yang berpotensi korupsi, ketika anggota DPRA mengklaim paket proyek yang merupakan aspirasi masyarakat dan dituangkan dalam APBA, adalah miliknya dan menuntut fee dari pekerjaan paket proyek tersebut.
Hal ini tentunya sudah melampaui kewenangan DPRA sebagai perencana dan pengawas dalam mengelola APBA.
Praktek mengejar rente dari paket pokir oleh anggota DPRA adalah bisnis haram yang terjadi setiap tahun anggaran.
Terlebih lagi jika kita teliti secara cermat, maka tidak sedikit paket proyek yang sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya mendorong percepatan kesejahteraan rakyat.
Bahkan banyak paket proyek yang tidak berada di Dapilnya, seperti Pokir Hendra Budian dengan pagu anggaran yang fantastik Rp 85 miliar.
Menghadapi praktek korupsi sistemik yang berkedok Pokir DPRA, tentunya KPK tidak lagi melakukan langkah imbauan, tapi KPK dipandang perlu melakukan eksekusi hukum jika Pokir DPRA terus dilanjutkan.