Bahaya Ulama Instan
Oleh: Shamsi Ali*
Kita hidup di sebuah era yang penuh dengan hiruk pikuk yang membisingkan. Bahkan media sosial kita menjadi ruangan suara bising, justru di saat-saat kita berusaha menghindar dari kompetisi pandangan-pandangan yang berkeliaran, dan dapat melemahkan kayakinan, bahkan menumbuhkan keraguan pada diri kita.
Di saat-saat inilah sungguh rendah hati menjadi sesuatu yang terasa sangat mahal. Sangat sedikit di antara manusia yang bisa membaca dengan baik dan paham.
Bahkan mereka yang melakukan itupun kerap hanya memupuk ego dan keangkuhan, ketimbang menumbuh suburkan pemikiran (intellect) dan jiwa (soul).
Rasulullah SAW mengingatkan: “Ulama itu adalah pewaris para Nabi”. Hari ini kita menyaksikan begitu banyak yang dadakan menjadi ustadz, da’i dan penceramah instabile yang selebritas. Namun kerap ilmu dan hikmah pada diri mereka sangat jauh dari harapan posisi mulia itu.
Pada generasi awal dari kalangan salaf begitu banyak ulama. Tapi sangat sedikit yang dengan mudah memberikan fatwa. Berbeda di zaman kita yang begitu mudah seseorang bahkan melalui kajian Google atau Youtube tiba-tiba jadi mufti yang digandrungi.
Imam Malik mungkin adalah salah seorang ulama besar pada masanya. Imam Syafi’i berkata: “Di saat kata ulama disebutkan, maka Malik adalah bintang di antara mereka”.
Imam Malik sendiri pernah berkata bahwa beliau tidak akan memberikan fatwa sebelum tujuh puluh ulama Madinah terlebih dahulu menguji kelayakan dan keabsahannya.
Ismail bin Abi Uwais, kemenakan Imam Malik berkata: “Saya bertanya kepada paman saya (Imam Malik) tentang suatu hal. Lalu beliau meminta saya duduk, beliau kemudian berwudhu, lalu berkata: laa haula wa laa quwwata illa billah. Beliau tidak memberikan fatwa apapun kecuali berkata demikian terdahulu”.
Al-Haytham (murid Imam Malik) juga pernah berkata: “Suatu ketika saya bersama Imam Malik dan beliau ditanya 40 permasalahan agama. Saya mendengar beliau menjawab: “Saya tidak tahu” terhadap 32 pertanyaan itu.
Itulah kerendahan hati seorang ulama besar sekaliber Imam Malik. Selain mengakui keterbatasan, juga tidak pernah bersikap menghakimi orang lain. Bahkan seorang muridnya Imam Syafi’i beliau memilki penghormatan yang sangat luar biasa.
Boleh jadi saat ini terasa kematian para ulama dan keilmuan disebabkan justru oleh kita sendiri. Karena kita terobsesi oleh segelintir personalitàs yang dikelilingi oleh pengikut fanatik yang kerap tidak sadar sedang mengalami indoktrinisasi yang berbahaya.