Oleh: Dr. Tgk. H. Amri Fatmi Anziz, Lc MA*
Sedikit respon terhadap tulisan Ade Armando (AA) yang menyikapi kejadian murtadnya seorang perempuan asal Aceh berjudul “Kasus Aceh, Cut Fitri Islam ke Kristen, kenapa marah”.
Tulisan ini tidak ingin membenarkan antara perempuan yang pindah agama atau pembelaan terhadap tindakan pihak keluarga perempuan atau ormas tertentu. Tapi hanya menyahuti logika berpikir yang sehat dan tepat menyikapi kasus demikian.
Karena orang awam yang salah memakai akal, lumrah kadang, tapi orang yang mengaku cendekiawan tapi salah memakai akal boleh berakibat fatal.
Apa yang dilakukan keluarga Cut Fitri yang digambarkan nampak emosional, sebelum dikatakan kemarahan orang Islam, yang tepat adalah kemarahan keluarga. Karena hubungan Cut Fitri dengan mereka sebelum hubungan akidah lebih kuat lagi adalah hubungan keluarga.
Kemarahan antara ibu terhadap anaknya yang sudah keluar dari keluarga, dan dianggap durhaka pada orangtua, kemarahan abang terhadap adiknya yang keluar dari keluarga. Bagi yang punya akal dan hati hal ini sangat jelas nampak terlihat. Adakah umat Islam seluruh Indonesia marah?
Bahkan tidak ada muslimin Aceh yang berunjuk rasa beramai-ramai marah atas kejadian itu. Yang diberitakan justru pihak keluarga dan masyarakat yang dekat tempat daerah Cut Fitri tinggal. Nah kenapa mereka yang berlaga?
AA tidak tepat mengeneralisir dengan kasus kecil kemudian menvonis semua orang. Ini bukan berpikir secara logis, apalagi bijak tapi lebih pada berpikir emosinal. Biasa kita saksikan orang yang emosi mengecam semua orang padahal masalah kecil.
Kalau selanjutnya ada ormas yang menyatakan sikap mengharap Cut Fitri balik ke Aceh dan Islam, maka tepatnya sikap ini adalah reaksi sebagian masyarakat Aceh terhadap anggota masyarakat yang mencampakkan budaya dan adat-istiadat Aceh.
Karena Islam selaku agama di Aceh sudah mengakar dan membudaya. Menjadi orang Aceh secara sejarah dan budaya adalah menjadi muslim. Ini diakui dan dirasakan oleh masyarakat Aceh. Begitu pula mungkin dengan muslimin di daerah lain di Nusantara. Seseorang keluar dari Islam sama dengan keluar dari akar budaya dan adat istiadat Aceh yang menyejarah.
Keterkejutan dan keanehan akan sangat dirasakan oleh masyarakat. Ada makna pengingkaran terhadap nilai sejarah dan kebudayaan berharga di sini.
Keyakinan agama dan adat budaya inilah yang melahirkan sejarah gemilang orang Aceh saat melawan para kolonialis menjajah Aceh, dengan perjuangan para ulama dan rakyat muslim. Jadi bumi Aceh saat ini adalah warisan panjang perjuangan tumpah darah para ulama dan rakyat muslim.
Islam yang telah membudaya menjadi identitas sejarah dan masyarakat Aceh. Sebab itu saat ada orang Aceh muslim, keturunan Aceh, besar dan lahir di Aceh selaku muslim, tiba-tiba mengikrarkan kafir dari Islam, pantaslah rakyat Aceh terkejut. Ini reaksi spontanitas terhadap seseorang yang menanggalkan identitas.
Dengan sikap orang Aceh menjaga identitas keislamannya yang sudah berbudaya, tidak bisa – lantas – orang Aceh dituduh tidak menerima perbedaan, tidak menerima penganut agama lain tinggal bersama mereka.
Ada dua hal yang perlu dibedakan. Orang Aceh muslim yang mengingkari Islam dengan orang pengakuan eksistensi non muslim di Aceh atau di kalangan masyarakat muslim. Itu dua hal yang jauh berbeda bila ditilik secara akal pikiran yang sehat.
Biar nampak lebih jelas, bayangkan saja kalau seorang gadis Aceh yang setiap hari pakai jilbab rapi, sopan santun dan pemalu, tapi tiba-tiba esok ia memakai celana pendek di jalanan, pakai baju yang menampakkan lemak di perutnya, di depan keramaian, akankah masyarakat bereaksi terhadapnya?
Bukankah bercelana, berbaju pendek hak setiap orang? Kalaupun ada reaksi dari masyarakat terhadap gadis itu, bukan karena mereka tidak menerima orang yang berpakaian demikian, tapi pelanggaran terhadap konsensus budaya dan identitas bersama yang bahkan tidak perlu ditulis.
Toh, di Aceh banyak orang Cina beragama Buddha atau Kristen biasa jalan pakai celana pendek, tapi nggak ada masyarakat Aceh yang bereaksi marah. Tidak bisa serta merta divonis orang Aceh tidak mampu menerima keberadaan orang bercelana pendek di kalangan mereka.
Begitu pula tak bisa divonis orang Islam tidak menerima perbedaan keyakinan. Akal tidak bisa digunakan secara dangkal saja. Indonesia Negara yang mengakui Ketuhanan dan agama serta budaya, adat istiadat Nusantara yang kaya raya lahir dari keyakinan agama yang luhur. Mempertahankan identitas budaya yang luhur adalah mencintai Tanah Air dan identitas bangsa.
Seorang yang terlahir di Aceh selaku muslim, ia telah dibesarkan dengan segala adat dan tatakrama serta norma sosial yang sangat kompleks. Ia diberlakukan selaku anak, memiliki keluarga sanak saudara muslim, lalu memiliki suami dan anak.
Maka seseorang dalam masyarakat muslim memiliki ikatan banyak yang sulit untuk terlepas begitu saja. Saat tiba-tiba seseorang meninggalkan adat-istiadat, budaya, norma, bahkan keyakinan secara serta merta, maka keluarga, saudara dan masyarakat secara otomatis tidak mudah menganggap hal itu normal.
Hanya orang yang tidak menjaga integritas terhadap norma dan keyakinan serta tidak jelas identitas diri sajalah yang menganggap hal itu biasa saja.
Beda kalau seandainya memang seseorang dilahirkan sudah menjadi non muslim dan tinggal di Aceh. Hal tersebut sah saja dan rakyat Aceh menerimanya dengan lapang dada. Di Aceh banyak non muslim yang beribadah ke gereja dan hidup damai berdampingan dengan masyarakat Aceh. Tak ada security yang menjaga pintu gereja atau vihara di Aceh.
Tidakkah ini menunjukkan masyarakat muslim Aceh menghargai keyakinan agama yang sesuai hati nurani masing-masing? pengamalan Undang-undang dan penghargaan terhadap hak asasi manusia?
Inilah kenapa ada masalah ketika orang Aceh kafir terhadap Islam yang tidak mau dipahami oleh AA. Orang Aceh atau pun muslim seluruhnya tidak membenci orang berpindah agama, buktinya orang Kristen yang masuk Islam diterima dan tidak dibenci. Kenapa AA menunutut muslimin membenci mereka?
Dengan mereka tidak membenci orang Kristen yang masuk Islam bukankah menjadi bukti nyata bahwa asalnya memang orang Islam tidak membenci orang yang beralih agama. Lalu kenapa ada reaksi kalau orang Islam masuk dalam agama Kristen?
Kalau belum dipahami juga ulangi lagi paragraf di atas beberapa kali baca. Jangan dipikir para mualaf tidak bersusah payah menghadapi keluarga mereka saat keluar dari Kristen ke Islam. Coba saja tanya Ustadz Felix Siaw. Atau baca saja kisah beliau di Instagram.
Bila seorang anak berangkat dari rumah tanpa izin ayahnya, lalu tidak ingin pulang lagi, mau hidup bebas nun jauh di sana tidak peduli dengan kondisi ayah ibunya dan telah merasa bahagia di sana tanpa keterikatan keuluarga.
Bila ayah ibunya bereaksi atas sikap anaknya itu, apakah ayah ibu tak ingin menjamin pilihan anaknya untuk hidup bebas dan merasa bahagia dengan pilihannya yang sudah dewasa? Lalu datang pemikir memprotes si ayah demi membela hak si anak untuk hidup sendiri dan dan merasakan bahagia dimana saja, karena ini adalah hak asasi!
Apakah yang dilakukan si anak dan pemikir yang merasa jagoan bisa dianggap wajar dan logis? Rasanya orang berakal dan memiliki hati tidak akan menvonis secara dangkal.
Masalah anak keturunan orang yang keluar dari Islam, berada dalam tanggungan siapa? Sedikit pandangan dalam fiqih Islam. Karena Islam bukan hanya keyakinan hati semata apalagi keyakinan lewat mimpi, tapi Islam punya aturan perundang-undangan dalam masalah keluarga yang sangat sempurna.
Imam Al-Kasani dalam al-Bada’I (4/42) beliau menyatakan : “Kalau seandainya si wanita (ibu) ia murtad dari Islam maka batal haknya untuk pengasuhan anak… Kalau seandainya ia bertaubat dan Islam kembali, ia kembali mendapatkan haknya pula.” Begitu juga Imam Al-Syarbini, dalam Mughni Al Muhtaj (3/455) : “Tidak ditetapkan pengasuhan bagi orang kafir atas orang muslim, karena tidak ada kewalian orang kafir atas orang muslim, dan karena pengasuhan anak dijadikan maslahat bagi si anak, dan tidak ada maslahat anak muslim dalam pengasuhan orang kafir” Begitu sekilas tentang fiqih Islam dalam hal ini.
Kalau ada yang berpendapat bahwa semua orang akan masuk surga walau apa saja agamanya asal orang baik, pendapat ini bertolak belakang dengan paham Ahlusunnah wal Jamaah bahwa hanya orang yang meyakini agama benar (beriman) dan beramal saleh akan bisa masuk surga. Mana pendapat yang benar, dari kedua ini? Rujukan berpikirlah yang akan menjadikan hasil pikiran dan pemahaman berbeda.
Seorang muslim yang paham khazanah keilmuan Islam, pasti merujuk pemikirannya pada sumber utama Al-Qur’an dan Hadits. Lalu ijma’ para ulama Islam setiap kurun. Adakah ayat, hadits dan kesepakatan ulama Islam yang mengatakan bahwa orang baik akan masuk surga walau apapun keyakinannya?
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman yang artinya : “… Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah : 217).
Dalam hadits yang shahih, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW beliau bersabda : “Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang pun dari umat ini mendengar tentangku, baik ia yahudi atau nasrani kemudian ia tidak beriman dengan apa yang telah diutuskan padaku, maka pasti ia termasuk dari penghuni neraka. (H.R.Muslim No: 240)
Adakah orang Yahudi dan Nasrani saat ini mempercayai apa yang dibawakan oleh Nabi Muhammad?
Kata Imam Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil ‘itiqad, (515) : “Dasar yang sudah menjadi ketetapan bahwa semua orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW maka ia kafir, yakni kekal dalam neraka setelah mati… Pendustaan orang Yahudi, Nasrani dan ahli agama lain dari Majusi dan penyembah berhala dianggap kafir sebagaimana tersebutkan dalam Al-Quran dan Ijma’ ulama”.
Ini sebagian rujukan muslimin yang meyakini bahwa semua orang yang tidak mau ikut Nabi Muhammad dan beriman dengannya dianggap kafir dan bila mati dengan status demikiann ia masuk ke dalam neraka.
Inilah kesepakatan ulama Ahlusunnah wal Jamaah dari kurun- ke kurun sampai hari ini. Agama yang menjadi keyakinan bukan hasil pendapat pribadi, tapi hasil dari rujukan yang kuat mengakar pada Al-Qur’an dan Hadits. Tanpa berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits pendapat siapa saja tidak mewakili Islam.
Hal ini sangat logis dan ilmiah. Kalau ada seorang yang baik hati berdedikasi di masyarakat, berjasa pada negara, meyakini bahwa Pancasila dan UUD ’45 bukan dasar Negara Indonesia, cerdas di bidangnya, apakah ia akan lulus ujian CPNS?
Apakah ia nanti bisa dianugerahi gelar penghormatan dan penghargaan oleh Presiden RI? Apabila seseorang punya karya tulis banyak di bidang ilmu politik, karyanya banyak dijadikan rujukan di universitas, dan dia menganut paham komunis serta mengajak orang terhadap paham tersebut, ia mengingkari Pancasila dan UUD ’45, akankah ia dianugerahi gelar Profesor dari UI misalkan? Diakan ilmuwan, karyanya sangat banyak, berjasa, anak Indonesia lagi. Adakah setiap yang berbakti pada masyarakat, berjasa pada negara akan pantas mendapat penghargaan dari negara walau menentang dan mengingkari dasar negara?
Semoga Allah menganugerahi hidayah kepada kita semua terkhusus orang yang mengaku akademisi diantara kita. Dengan demikian mereka akan menjadi asbab hidayah bagi orang lain bukan justru menyesatkan orang awam. Wallahu’alam
*Penulis adalah Pengurus Masjid Agung Al Falah Sigli, Aceh