Zakat Fitrah Menyempurnakan Kekurangan Ibadah Puasa Ramadhan
ACEH BESAR— Ketua STISNU Aceh Dr Tgk Muhammad Yasir SHI MA mengajak untuk merenungi makna dan hakikat ibadah zakat fitrah yang ada pada bulan Ramadan, khususnya di akhir bulan suci ini, yang senantiasa menjadi bahan diskusi, kajian, dan materi perbincangan hangat umat Islam.
Selain mempelajari definisi dan pernak pernik pengamalan rukun Islam yang ketiga ini, sepatutnya kita juga mengetahui hakikat ibadah zakat yang kita lakukan.
Hal itu disampaikan Muhammad Yasir dalam khutbah Jum’at di Masjid Al Hijrah Komplek PNS, Gampong Paya Roh, Kecamatan Darul Imarah, 21 April 2023 bertepatan 30 Ramadhan 1444 Hijriah.
“Kita perlu tahu dan sadar, hakikat beribadah adalah bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, namun semua itu merupakan sebuah kebutuhan yang akan membawa dampak positif bagi kehidupan kita,” ujarnya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 56, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
Dalam ayat ini, jelas disebutkan bahwa ibadah zakat merupakan sebuah perintah.
Karena itu, Tenaga Profesional Baitul Mal Kota Banda Aceh ini menguraikan, sebagai makhluk dan hambanya, perintah yang diberikan Allah kepada kita menunjukkan sebuah kewajiban yang wajib dipatuhi dan dikerjakan.
Jika menjalankan shalat adalah kewajiban yang memiliki dimensi vertikal yakni sebuah kepatuhan untuk memenuhi hak Allah dengan menyembah-Nya, maka kewajiban zakat memiliki dua dimensi ibadah.
Selain dimensi vertikal sebagai kewajiban kepada Allah, zakat juga memiliki dimensi horizontal dalam bentuk memberikan harta yang dimiliki, karena di dalamnya terdapat hak-hak orang lain.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah, untuk membersihkan orang yang berpuasa dari lontaran kata yang tidak bermanfaat dan kotor, serta untuk memberi makanan kepada orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud).
Dalam hadits ini, zakat fitrah dapat menambal celah kurang ibadah puasa Ramadan agar menjadi sempurna.
Menabrak etika puasa seperti berkata dusta, sebenarnya sudah Nabi isyaratkan untuk dihindari, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan tidak meninggalkan perbuatan yang diakibatkan ucapan dustanya, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya”. (HR Bukhari).