YARA Sebut Bunga pada Bank Konvensional Tidak Riba
BANDA ACEH – Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin SH menyampaikan, bahwa bunga pada perbankan konvensional itu tidak riba.
Menurut Safaruddin, hal itu lantaran ada sebagian ulama/mufti di negara Mesir yang membolehkan bunga perbankan konvensional.
“Persoalan bunga pada bank konvensional itu masalah khilafiyah. Beberapa negara muslim lainnya, seperti di Malaysia masih beroperasi bank konvensional dan itu memberi peluang pekerjaan bagi rakyatnya,” ujar Safaruddin.
Hal ini diungkapkan Safaruddin saat menjadi pembicara diskusi publik dengan tema “Revisi Qanun LKS, Perlukah?”. Diskusi ini digelar oleh Program Studi (Prodi) Hukum Ekonomi Syariah (HES) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Jum’at (26/5/2023) kemarin.
Safaruddin menyebutkan, bahwa larangan bank konvensional untuk beroperasi di Aceh melanggar konstitusi.
Ia menjelaskan, bahwa Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) seharusnya mengatur soal keuangan syariah dan bukan bank konvensional.
Safaruddin mendorong, agar revisi Qanun LKS untuk memfokuskan pada Lembaga keuangan Syariah tersebut.
“Misanya pada Pasal 2, dinyatakan bahwa lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah,” ujar Safaruddin.
Selain itu, di Pasal 65 disebutkan lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib menyesuaikan dengan Qanun ini paling lama tiga tahun.
Ia melihat, bahwa usulan revisi agar menambah kata ‘syariah’ pada kedua pasal tersebut, setelah kata lembaga keuangan sehingga menjadi lembaga keuangan syariah.
Menurutnya, qanun ini hanya khusus untuk mensyariahkan perbankan syariah, agar perbankan syariah menjadi lebih syariah.
“Bukan sebaliknya mengatur perbankan konvensional,” kata Ikatan Advokasi Indonesia (IKADIN) Aceh ini.
Sementara Ketua Prodi HES Dr iur Chairul Fahmi MA menjelaskan bahwa secara konstitusi Qanun LKS adalah perintah Undang-undang, dimana Pasal 2 UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Aceh, Pasal 125, 126, 127, dan 154 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan Pasal 21 Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam di Aceh.