Penjajah Israel Bunuh Puluhan Jurnalis Karena Khawatir Menyiarkan Kekejaman di Gaza
GAZA – Puluhan jurnalis telah gugur terkena serangan Israel di Palestina dan Lebanon sejak serangan brutal Israel ke Gaza dimulai pada 7 Oktober lalu.
Bocoran dari pejabat di Amerika Serikat (AS) mengindikasikan alasan pembunuhan-pembunuhan itu.
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis, setidaknya 53 jurnalis dan pekerja media telah terbunuh sejak perang dimulai pada 7 Oktober. Di Gaza, keluarga para jurnalis juga jadi sasaran.
Situs berita politik AS, Politico mengungkapkan pada Kamis (23/11/2023), ada kekhawatiran di pemerintah AS dan sekutunya Israel bahwa para jurnalis akan menyoroti kekejaman di Gaza.
Hal itu jadi salah satu alasan keengganan menyepakati gencatan senjata.
Kesepakatan gencatan yang belakangan akhirnya disepakati memicu kekhawatiran pemerintah bahwa kondisi itu akan memungkinkan jurnalis untuk menyaksikan sejauh mana kehancuran yang ditimbulkan Israel di Gaza dan kejahatan perang yang telah dilakukannya.
Menurut seorang pejabat senior AS yang tidak disebutkan namanya yang berbicara kepada Politico, “ada kekhawatiran di pemerintahan mengenai konsekuensi yang tidak diinginkan dari jeda tersebut: bahwa hal ini akan memberikan akses yang lebih luas bagi jurnalis ke Gaza dan peluang untuk lebih menjelaskan kehancuran di sana dan mengubah opini publik tentang Israel.”
Pengakuan kekhawatiran oleh pihak berwenang di Washington terjadi pada saat banyak orang menyoroti fakta bahwa meskipun Israel mungkin memiliki keunggulan militer dan teknis dalam invasi mereka ke Gaza, Israel kalah dalam perang informasi. Israel juga gagal mempertahankan dukungan di garis depan hubungan masyarakat dan opini publik, bahkan di negara-negara Barat.
Perlu diketahui, saat ini sedikit saja jurnalis dari media-media barat yang meliput secara bebas di Gaza. Mereka dalam sejumlah kesempatan diajak pasukan Israel melihat kondisi di Gaza setelah serangan darat pada 27 Oktober lalu, namun harus dibaca dulu isi laporannya sebelum dikirimkan ke kantor.
Hal ini diakui jurnalis the Guardian, the New York Times, CNN, Reuters, dan BBC.