Memahami Pemikiran Harun Nasution tentang Produktivitas dan Konsep Takdir yang Mirip Mu’tazilah
Oleh: Hasvi Harizi*
DALAM kajian teologi Islam, takdir merupakan istilah yang merujuk pada qadla’ atau keputusan Allah yang telah tertulis di lauhi mahfuz sejak sebelum dunia tercipta.
Kajian tentang takdir menjadi salah satu tema yang tergolong rumit dijelaskan.
Dikatakan rumit sebab sebagian dalil Al-Qur’an dan Hadits mengatakan semua kejadian di dunia ini sudah tercatat di Lauh Mahfuz dan pena yang mencatatnya telah kering sehingga tak mungkin berubah.
Sebagian dalil lain menegaskan, doa manusia dapat mengubah takdir, demikian juga silaturahim dapat memperpanjang umur dari waktu yang telah ditentukan. Sebagian dalil lainnya memerintahkan kita melakukan aneka perbuatan baik dan produktif sehingga bisa meraih kehidupan bahagia di dunia maupun akhirat, ini semua mengisyaratkan ikhtiar manusia punya andil besar dalam menentukan jalan takdir yang akan ia tempuh.
Mengenai persoalan adanya produktivitas dan kreatifitas yang ada manusia, Harun Nasution memiliki pandangan sendiri tentang konsep takdir yang tidak jauh berbeda dengan ajaran Mu’tazilah.
Menurut Harun Nasution, takdir dan sunnatullah jika disalahartikan akan membawa paham yang sempit dan melemahkan produktivitas manusia.
Guna menghindari pemahaman yang sempit ini, Harun Nasution memandang perlu adanya pengajaran yang benar dalam memahami ajaran agama.
Menurut Harun, dalam agama Islam terdapat dua sejarah yang erat kaitannya dengan produktivitas.
Pertama, agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua di akhirat nanti yang bersifat spiritual. Apabila kehidupan duniawi dipandang penting, maka produktivitas akan meningkat.
Tetapi sebaliknya, kalau hidup akhirat yang diutamakan, maka produktivitas akan menurun.
Kedua, agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, dalam arti bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian, akan rendah sekali. Tetapi dalam masyarakat yang menganut paham bahwa manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi.