Angka Pernikahan Menurun dan Fenomena Meningkatnya Perempuan Bekerja
Oleh: Alif Alqausar*
Dalam beberapa tahun terakhir, tren menikah di kalangan pemuda Aceh mengalami perubahan signifikan. Banyak pemuda memilih tidak menikah atau menunda pernikahan hingga usia yang lebih matang.
Sejumlah media menyebut tren penurunan angka pernikahan saat ini mencapai titik terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Data terbaru dari Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Aceh mencatat hanya 30.786 peristiwa pernikahan di 2024, turun drastis hingga 12 persen dibandingkan 2023 yang mencapai 36.035 pernikahan.
Dengan beitu, Aceh menjadi salah satu daerah dengan warganya paling banyak menunda menikah. Angka pernikahan di Aceh terus menunjukkan penurunan dalam lima tahun terakhir.
Lebih detail, data Kanwil Kemenag Aceh mengungkapkan kondisi ekonomi pasca pandemi Covid-19 hingga kenaikan harga emas sebagai mahar perkawinan, serta perubahan regulasi Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang batas usia menikah menjadi faktor utama.
Penurunan angka pernikahan di Aceh, menurut data Kanwil Kemenag Aceh, sudah dimulai sejak 2019, pada masa itu ada 45.629 peristiwa pernikahan sebagai angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Sejak itu jumlah pernikahan terus menurun di 2020 menjadi 42.213, 41.044 pada 2021 dan 39.540 di 2022.
Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini melaporkan proporsi anak muda (WNI laki-laki dan perempuan berusia 16-30 tahun) yang berstatus belum kawin naik menjadi 69,75% pada 2024.
Ini merupakan rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir. Sedangkan anak muda yang berstatus kawin pada 2024 turun menjadi 29,10%, mencapai rekor terendah baru.
BPS memperkirakan, penurunan tren perkawinan anak muda Indonesia dipengaruhi berbagai hal, seperti perubahan hukum yang menaikkan batas usia minimal perkawinan, meluasnya kesempatan untuk sekolah dan berkarier, serta berkurangnya tekanan sosial untuk menikah.
Untuk menganalisis fenomena ini, Peneliti Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM, Saqib Fardan Ahmada dalam artikelnya “Tren Pernikahan Indonesia dan Transisi Demografi Kedua” menilai fenomena ini sebagai gejala Indonesia dalam proses transisi demografi kedua (second demographic transition/SDT).