Syahadat Orang Kantoran: Ketika Atasan Jadi “Tuhan” Kecil
*Oleh: Riza Syahputra
Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota, dengan segala tuntutan profesionalisme dan tekanan pekerjaan, seorang pria duduk menikmati malam dengan secangkir kopi arabika Flores. Kehangatan aroma kopi berpadu dengan dinginnya hembusan angin malam, menjadi penawar lelah setelah seharian bergelut dengan tugas dan tanggung jawab. Di tangannya terbuka sebuah buku berjudul “TUHAN Maaf, Kami Sedang Sibuk” karya Ahmad Rifa’i Rif’an, yang menyajikan perenungan-perenungan spiritual di tengah kesibukan dunia modern. Salah satu bagian dari buku itu, yang mengetuk nurani pembaca dengan cukup tajam, adalah tentang “Syahadat Orang Kantoran”.
Frasa itu terdengar asing, namun begitu menyentuh kenyataan. Ia menyuarakan realitas yang kerap luput dari kesadaran banyak orang: bahwa di balik ucapan syahadat yang begitu mudah dilafalkan, tersembunyi ketidakkonsistenan antara keimanan dan perilaku nyata dalam kehidupan profesional.
Mengucap Syahadat: Lisan yang Terbiasa, Tapi Makna yang Terlupa
Bagi seorang muslim, syahadat adalah fondasi iman, inti dari seluruh kepercayaan dan amalan dalam Islam. Ia adalah pernyataan tauhid: “Asyhadu an laa ilaaha illallah” – aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ucapan ini bukan sekadar kalimat pembuka Islam, tapi komitmen total terhadap ketaatan hanya kepada Allah, serta penolakan terhadap segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya.
Namun dalam praktiknya, terutama dalam dunia kerja modern, syahadat sering kali hanya menjadi ritual verbal – sesuatu yang dilafalkan lima kali sehari dalam shalat, namun tak berbekas dalam sikap hidup. Banyak dari kita yang bekerja di kantor – entah sebagai pegawai negeri, karyawan swasta, manajer, atau staf – sering kali secara tidak sadar memindahkan pusat ketaatan dari Allah kepada atasan, institusi, jabatan, bahkan target-target duniawi.
Ketika Atasan Jadi “Tuhan” Kecil
Fenomena ini cukup nyata. Berapa banyak dari kita yang rela melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam hanya demi mempertahankan posisi, gaji, atau citra profesional? Ketika bos memerintahkan manipulasi data, laporan palsu, atau strategi penjualan yang menipu, banyak yang memilih diam, menunduk, dan patuh. Bukan karena tak tahu itu salah, tapi karena takut: takut dimutasi, diturunkan jabatan, bahkan dipecat.