Politik Jatah Preman, Potret Budaya Indonesia
Oleh: Sri Radjasa Chandra MBA*
MENARIK untuk dijadikan kajian, tulisan Ian Douglas Wilson dosen Murdoch University-Australia, dalam bukunya The Politics of protection rackets in post new order Indonesia.
Wilson dengan lugas membeberkan soal kehadiran Hercules, sebagai cermin dari gagalnya negara dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya, melindungi, mengatur dan menciptakan keadilan.
Fenomena preman atau genk kekerasan terlibat sebagai perantara kekuasaan informal atau menjadi makelar kekuasaan, sesungguhnya telah ada dalam setiap periode orde kekuasaan di Indonesia.
Hal ini terjadi akibat wajah demokrasi yang bopeng dan penegakan hukum yang amburadul.
Premanisme dan genk kekerasan adalah manifestasi struktural untuk menjadi jebakan jembatan akibat terputusnya relasi kekuasaan antara rakyat dan negara. Pada akhirnya rakyat tetap saja menjadi objek dari kekerasan dan penegakan hukum abal-abal.
Periode orde lama, ada nama Bang Pi’ie jagoan pasar senen yang juga pejuang dimasa merebut kemerdekaan, kemudian masuk dalam kabinet 100 menteri (dwikora II) sebagai menteri urusan keamanan.
Sepak terjang bang Pi’ie penuh dengan catatan criminal dan telibat dalam berbagai aksi politik praktis. Kemampuan Bang Pi’ie menggalang massa, menarik perhatian para politisi dan presiden sukarno waktu itu.
Periode Orde Baru, ada nama Yapto dan Yoris adalah sosok pentolan genk kekerasan yang dekat dengan cendana, kemudian membentuk basis massa melalui ormas Pemuda Pancasila.
Pada periode orde baru, sepak terjang yapto dan yoris amat dominan menguasai ruang-ruang kosong yang dibiarkan oleh negara. Mereka piawai dalam membangun loyalitas untuk membentuk otoritas tanpa legitimasi formal.
Berangkat dari otoritas tanpa legitimasi formal, hanya berbekal kedekatan dengan cendana, mereka berhasil menjadi makelar kekuasaan dan bisnis rasa aman yang menurut Wilson disebut sebagai “kontribusi social” dari kelompok preman dan genk kekerasan.
Politik jatah preman sebagaimana dikemukakan oleh Wilson, tidak hanya sebagai representasi politik era reformasi, tapi sesungguhnya telah mengakar menjadi budaya politik di Indonesia pasca kemerdekaan.