17 Tahun Damai Aceh: Kejelasan Bendera Aceh Dipertanyakan, Untuk Apa Tiang Kosong di DPRA?
Menurut KPA, selama ini implementasi butir-butir MoU dan turunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tak bisa maksimal karena persoalan bendera dan lambang saja belum tuntas.
“Nanti jangan salahkan jika generasi berikutnya menaikkan bendera klub sepakbola di tiang kosong di depan DPRA, itu karena mereka tidak tahu tiang kosong itu untuk apa. Jika tidak, mungkin DPRA akan menaikkan 2 bendera merah putih di DPRA sebagai bentuk simbol nasionalisme ganda dan nasionalisme luar biasa para wakil rakyat di gedung DPRA. Hal itu sah-sah saja jika semua tanpa kepastian adanya,” kata Hasbar.
Menurut Hasbar, untuk tahap awal jika memang qanun bendera itu sudah sah, ada baiknya di instasi pemerintah provinsi, gedung wali nanggroe dan DPRA bahkan hingga kantor bupati, wali kota serta DPRK untuk mulai dikibarkan, sehingga rakyat pun ikut mengibarkannya.
Jika rakyat yang dikompori untuk mengibarkannya, sementara stakeholder pemerintahan yang ada di Aceh juga tak kunjung berani menanggap qanun tersebut sah, justru jadi blunder nantinya.
Terakhir, KPA mengajak semua pihak untuk jujur kepada rakyat tentang fakta sebenarnya, apakah bendera Aceh itu benar diperjuangkan atau hanya alat jualan politik belaka.
“Jika hanya jualan politik belaka maka usailah sudah cerita perjuangan tentang MoU Helsinki dan UUPA sebagaimana selama ini didengung-dengungkan. Wajar saja jika publik akan beranggapan UUPA dan MoU Helsinki tak lagi jadi lembaran sakti, hanya sebatas cerita dongeng yang dirangkai di Helsinki, Finlandia. Rakyat menunggu kepastian langkah kongkrit,” pungkasnya. (IA)