Dua First Lady Aceh: Antara Kak Ana dan Bunda Salma, Siapa Paling Berpengaruh?
ACEH, sebuah daerah istimewa yang kaya akan budaya, sejarah perjuangan, dan nilai-nilai adat serta agama, kembali mencatatkan babak baru dalam dinamika politik dan sosialnya.
Bukan hanya dari sosok pemimpin formal di kursi gubernur, tetapi juga dari figur-figur perempuan yang berada di sekitarnya—khususnya para istri kepala daerah yang sering kali tampil sebagai “ibu rakyat.”
Kisah ini menjadi semakin unik ketika berbicara tentang Muzakir Manaf atau yang lebih dikenal sebagai Mualem, tokoh sentral dalam sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mantan Wakil Gubernur, dan kini Gubernur Aceh.
Tak hanya perannya sebagai pemimpin yang menarik perhatian, tetapi juga kehidupan pribadinya yang mencerminkan kekuatan dan keistimewaan perempuan Aceh.
Mualem saat ini memiliki dua istri sah yang keduanya dikenal luas di publik:
Marlina Usman, yang lebih akrab disapa Kak Ana, menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Aceh
Salmawati SE atau Bunda Salma, yang saat ini adalah Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Keberadaan dua First Lady ini juga mencerminkan karakter khas dari sosok Muzakir Manaf.
Sebagai tokoh Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian menjelma menjadi pemimpin formal, Mualem adalah representasi dari kombinasi nilai-nilai tradisional Aceh (yang mengakui poligami secara syar’i) dengan tuntutan modern akan pelayanan publik dan pengelolaan negara yang profesional.
Dengan dua istri yang sama-sama aktif di ruang publik, Mualem juga secara tidak langsung menampilkan citra seorang pemimpin yang dikelilingi perempuan-perempuan kuat, cerdas, dan berkontribusi.
Di balik setiap pemimpin besar, sering kali berdiri sosok perempuan tangguh yang memainkan peran strategis, baik secara domestik maupun publik. Namun, dalam konteks Aceh, sosok itu tak hanya satu. Di balik Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem terdapat dua istri sah yang sama-sama memainkan peran signifikan di ruang publik: Bunda Salma dan Kak Ana.
Fenomena ini tak sekadar menarik karena Mualem adalah satu-satunya kepala daerah di Indonesia yang memiliki dua istri sah yang keduanya aktif dalam urusan publik dan politik. Tetapi juga karena keduanya sama-sama punya pengaruh besar dan pendekatan unik dalam mengabdi kepada Aceh.
Dua perempuan, dua peran publik, dua jalur pengabdian. Pertanyaannya bukan semata-mata “siapa lebih berpengaruh,” melainkan: bagaimana mereka berdua, dari posisi masing-masing, ikut membentuk wajah sosial-politik Aceh saat ini?
Kak Ana: Lembut, Elegan, dan Akrab dengan Masyarakat
Sebagai istri pertama, Kak Ana mengambil peran struktural yang sangat strategis, yaitu sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Aceh dan Bunda Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Aceh.
PKK bukanlah lembaga biasa; ia adalah mesin sosial di tingkat akar rumput yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam isu keluarga, pendidikan anak, pemberdayaan perempuan, dan kesejahteraan sosial.
Kak Ana dikenal dengan gayanya yang lembut, ramah, namun aktif.
Ia sering hadir di tengah masyarakat dalam berbagai kegiatan, baik itu pelatihan ekonomi kreatif untuk ibu-ibu, kampanye pencegahan stunting, hingga kegiatan keagamaan dan budaya.
Sosoknya mudah didekati, tidak membangun jarak, dan banyak ibu-ibu desa merasa nyaman berbicara dengannya.
Yang menarik, Kak Ana juga menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Ia aktif di media sosial, membagikan kegiatan-kegiatan TP PKK secara konsisten, serta menjalin komunikasi terbuka dengan generasi muda.
Dalam berbagai unggahan, ia tidak hanya berbicara soal program, tetapi juga membagikan nilai-nilai keluarga, pendidikan anak, dan pentingnya perempuan dalam pembangunan sosial.
Di mata publik, Kak Ana adalah representasi First Lady yang khas: sopan, aktif, dan representatif dalam membangun jembatan antara rumah tangga dan pemerintahan.
Bunda Salma: Tegas, Cerdas, dan Perempuan Pejuang di Parlemen
Di sisi lain, Bunda Salma tidak berdiri dalam struktur non-pemerintah seperti Kak Ana, melainkan memilih jalur politik formal yang sempat diwarnai kontroversi.
Sebagai Anggota Komisi III DPR Aceh, ia berada di garis depan dalam pembuatan kebijakan, pengawasan, serta pengambilan keputusan penting yang memengaruhi nasib rakyat Aceh.
Komisi III yang ia tempati membidangi urusan ekonomi, investasi, keuangan dan aset daerah—menuntut kecermatan serta ketegasan.
Dalam banyak momen publik maupun dewan, Bunda Salma tampil sebagai politisi yang aspiratif, berwawasan, dan berani menyuarakan hal-hal krusial, termasuk yang menyangkut isu perempuan dan ketimpangan pembangunan.
Ia tidak tampil sebagai istri pejabat semata, tetapi sebagai pemimpin perempuan yang punya otonomi berpikir dan bertindak. Bunda Salma juga dikenal aktif membangun komunikasi dengan konstituennya, sering turun ke lapangan, menyerap aspirasi rakyat, dan menyuarakannya dalam forum-forum resmi legislatif.
Bagi sebagian orang, Bunda Salma bahkan dianggap lebih dari sekadar First Lady—ia adalah figur perempuan mandiri yang berhasil menembus panggung politik, menginspirasi perempuan Aceh untuk tidak hanya berperan di belakang, tapi juga berdiri di garis depan perubahan.
Pengaruhnya melampaui batas rumah tangga, menjadikan dirinya sebagai salah satu politisi perempuan paling disorot di Aceh saat ini.
Kehadiran dua istri sah dalam kehidupan seorang kepala daerah, terlebih ketika keduanya aktif secara publik dan berkontribusi nyata, tentu bukan hal yang umum di Indonesia.
Namun, di Aceh—sebagai satu-satunya provinsi dengan otonomi syariat Islam—realitas ini bisa diterima secara hukum dan budaya, selama dijalankan dengan adab, keadilan, dan transparansi.
Mualem sendiri tidak pernah menutupi realitas rumah tangganya. Bahkan, keduanya kerap tampil bersama dalam acara formal maupun publik, menunjukkan harmoni dan keseimbangan peran.
Ini menjadi cermin bahwa dalam adat Aceh, poligami bukan semata-mata soal relasi suami-istri, tetapi juga soal bagaimana setiap pihak menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan profesional dan berintegritas.
Bersaing atau Beriringan?
Meski banyak yang mengira dua istri dalam satu panggung akan berkompetisi, namun hingga kini publik tidak pernah melihat tanda-tanda rivalitas antara Kak Ana dan Bunda Salma.
Keduanya bergerak dalam bidang yang berbeda, dengan gaya yang berbeda, dan fokus pada pengabdian sesuai kapasitas masing-masing.
Bagi rakyat Aceh, ini bukan persoalan “siapa istri utama” atau “siapa lebih berpengaruh,” melainkan tentang bagaimana keduanya—dalam kapasitas sebagai pemimpin sosial dan politisi—ikut serta membangun negeri.
Mereka berdua tak hanya mendampingi seorang Gubernur, tapi juga menjadi aktor penggerak perubahan itu sendiri.
Dua Perempuan, Satu Cinta untuk Aceh
Dalam sejarah Aceh, perempuan selalu memiliki tempat terhormat—mulai dari Cut Nyak Dhien hingga Cut Meutia, hingga kini pada sosok-sosok seperti Kak Ana dan Bunda Salma. Keduanya adalah wajah Aceh masa kini: perempuan yang lembut sekaligus tangguh, santun sekaligus vokal, mendampingi pemimpin sambil menjalankan kepemimpinan mereka sendiri.
Di tengah tantangan pembangunan, ketimpangan, dan transisi sosial, kehadiran dua First Lady yang saling melengkapi ini justru menjadi kekuatan tersendiri bagi Aceh.
Di balik nama besar Mualem, berdiri dua perempuan yang tak hanya menguatkan rumah tangga, tetapi juga turut membangun rumah besar bernama Aceh.
Perjalanan mereka menjadi simbol bahwa First Lady tidak harus tunggal dan simbolik. Di Aceh, peran itu bisa dijalankan dua perempuan hebat sekaligus, dengan ruang dan pendekatan yang berbeda, tapi dengan semangat yang sama: mengabdi untuk rakyat dan menjaga marwah keluarga.