Hamid Awaluddin Temui Wali Nanggroe, Bahas Rencana Penambahan 4 Batalyon TNI di Aceh
“Seandainya ada ancaman dari luar, rakyat Aceh dapat diharapkan untuk menantang musuh yang datang dari luar. Sejarah Aceh telah membuktikan Aceh sendiri dapat menantang Portugis selama ini lebih dari 100 tahun, Belanda 70 tahun dan Jepang 3,5 tahun,” ungkap Wali Nanggroe.
“Yang harus digarisbawahi adalah kepercayaan dan komitmen bersama pada apa yang telah disepakati, adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu memasuki era pembangunan Aceh di masa depan yang cemerlang. Salah satu ganjalan saat penanda tanganan MoU Helsinki saat itu adalah soal penentuan Jumlah TNI dan Polri di Aceh dalam Naskah Perjanjian,” kata Wali Nanggroe mengisahkan.
Ketua Komisi I DPRA, Tgk. Muharuddin, turut menyoroti persoalan ini dari aspek hubungan pusat-daerah serta dampaknya terhadap masyarakat.
Ia menyatakan pembangunan empat batalyon TNI tanpa komunikasi dan koordinasi yang memadai dengan Pemerintah Aceh berpotensi merusak rasa saling percaya yang menjadi fondasi utama dalam implementasi MoU Helsinki.
“Aceh memiliki kewenangan khusus sebagai daerah istimewa. Jika penempatan pasukan besar dilakukan secara sepihak, ini berisiko mengabaikan kekhususan tersebut dan bisa memicu ketegangan politik,” ujarnya.
Tgk. Muhar—sapaan akrab Tgk. Muharuddin–juga mengingatkan tentang potensi trauma kolektif dan polarisasi sosial yang bisa muncul akibat langkah tersebut.
Ia menilai kehadiran militer dalam jumlah besar tanpa pendekatan partisipatif dan sosialisasi yang cukup bisa menimbulkan rasa tidak aman dan memperkuat sentimen anti-pusat yang sebelumnya telah mereda.