Ibu Asal Aceh Barat Alami Kebutaan, Diduga Korban Malpraktik Dokter RSUDZA

Seorang pasien Yusmanila, asal Meulaboh, Aceh Barat mengalami kebutaan mata sebelah kanan secara permanen, diduga disebabkan malpraktik dokter RSUDZA Banda Aceh

BANDA ACEH — Seorang pasien asal Meulaboh, Aceh Barat mengalami kebutaan mata sebelah kanan secara permanen.

Suami pasien menganggap apa yang terjadi pada istrinya disebabkan korban malpraktik dokter saat menangani proses embolisasi (penyumbatan suatu pembuluh darah) melalui selang dari pangkal paha ke otak.

Pasien tersebut adalah Yusmanila (41). Proses menyemprotkan obat melalui selang ditangani oleh dokter bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, di ruang bedah rumah sakit plat merah milik Pemerintah Aceh itu, Selasa malam, 13 Februari 2024.

Yusmanila merupakan ibu dua orang anak usia 10 dan 3 tahun, warga Kecamatan Samatiga, Aceh Barat.

“Apa yang terjadi pada istri saya baru saya ketahui setelah proses embolisasi dan dikembalikan ke ruang inap (Nabawi), dia muntah hebat, dan langsung mata sebelah kanan tidak bisa melihat lagi,” ujar Azhar, suami Azhar, Sabtu, 17 Februari 2024.

Azhar menceritakan istrinya divonis mengindap tumor pembuluh darah di bagian hidung sejak tahun 2022 dan telah dilakukan tindak operasi pada tahun itu juga di RSUDZA Banda Aceh. Sayangnya, baru satu tahun berselang penyakit yang sama kambuh lagi.

Sejak merasakan keluhan yang sama, Azhar memutuskan membawa kembali istrinya ke RSUDZA Banda Aceh berdasarkan surat rujukan yang dikeluarkan RSUD Cut Nyak Dien Meulaboh akhir Januari 2024.

“Awalnya, berobat jalan karena tinggal di rumah saudara di Blang Oi. Setelah melalui semua proses pemeriksaan, dijadwalkan operasi pada Selasa (13/2), makanya disuruh rawat inap mulai Senin (12/2),” ungkap Azhar sambil sesekali mengusap mata istrinya yang terus mengeluarkan air setelah embolisasi dilakukan.

Menurut Azhar kondisi istrinya saat pertama masuk ke Ruang Rawat Inap Nabawi dalam kondisi bugar tanpa mengeluh sakit apapun. Namun, petaka mulai menghampiri saat dokter bagian THT membawa istrinya ke ruang bedah untuk dilakukan pemeriksaan kembali.

“Saat itu, tim dokter THT memeriksa kembali hidung saya dengan cara dicongkel dengan alat. Padahal, sebelumnya salah satu dokter penanggungjawab tidak merekomendasikan dan sudah mengintruksikan hidung saya tidak boleh lagi dicongkel-congkel karena tumornya memang letaknya di pembuluh darah, sedikit saja bergoyang pasti keluar darah,” sambung Yusmanila sambil menangis terisak-isak.

Dalam kejadian itu, menurut Azhar, darah yang keluar dalam hidung istrinya tidak bisa berhenti sehingga keluar kurang lebih 1 botol air mineral atau sekitar setengah liter. Setelah kejadian itu, operasi yang telah dijadwalkan terpaksa dibatalkan karena ditakutkan akan terjadi pendarahan saat operasi dilakukan.

“Saat itu juga saya bilang sama dokter-dokter itu (kalau tidak salah namanya dokter Fadila), kan saya sudah menolak kenapa kalian paksa. Apalagi dokter Beni (bagian THT) belum memberikan tanda tangan, tapi kalian paksa-paksa jadi begini kejadiannya, saat itu semua dokter diam. Jadi waktu dicongkel-congkel, dokter yang congkel itu mengajari dokter-dokter muda lain, sepertinya saya dijadikan bahan uji coba mereka,” ungkap Yusmanila.

Nah, setelah itu sambung Azhar istrinya kembali dibawa ke ruang inap dangan kondisi darah yang masih menetes dari lubang hidung. Keesokan harinya, tiba-tiba tim dokter memutuskan untuk dilakukan embolisasi (penyumbatan suatu pembuluh darah) melalui selang dari pangkal paha ke otak.

Operasi kecil itu dilakukan mulai habis Magrib hingga pukul 23.00 WIB malam dengan tujuan untuk menutup kuntup darah agar tidak terjadi pendarahan saat operasi.

Menurut pengakuan Yusmanila, proses ini dilakukan dengan bius lokal. Sehingga, apa yang dilakukan dokter semua dapat dilihat dan dirasakan, karena sangat sakit saat selang itu dimasukkan dalam badan hingga ke otak.

“Terasa sekali saat masuk obat ke otak, dan itu banyak sekali. Saya tidak teringat soal mata, tapi saya teringat nanti kepala saya pasti sudah rusak, karena banyak sekali obat yang disemprot,” ujarnya sambil sesekali menatap kosong wajah anaknya.

Selesai itu dilakukan, menurut Azhar istrinya itu mengalami muntah-muntah hebat hingga setengah sadar. Dalam kondisi tersebut, kedua matanya memang tidak bisa dibuka, dan ia sempat berpikir mungkin karena pengaruh obat.

Ternyata, perkiraannya salah karena setelah sadar sekitar pukul 04.00 pagi, mata kanannya sama sekali tidak bisa melihat.

“Sejak saat itulah, saya menangis sekuat-kuatnya. Karena waktu masuk kemari, mata saya tidak ada keluhan sedikit pun. Jadi, bukan berkurang penyakitnya, malah bertambah. Saya teringat, anak masih kecil-kecil, siapa yang merawat kalau kondisi saya seperti ini, walaupun bisa melihat dengan mata kiri, namun pasti mengganggu, terutama kami orang kerja tani di kampung,” ungkapnya.

Atas kejadian ini, Azhar mengaku tidak terima dan meminta manajemen RSUDZA Banda Aceh untuk bertanggungjawab.

Karena, baik bagian THT dan Bagian Bedah plin plan dalam memberikan penjelasan dan terkesan tidak bertanggung jawab.

“Kemarin (Jum’at 15/2) sudah dicek ke Poli Mata dan kata dokter spesialis, berdasarkan hasil USG bahwa matanya buta permanen sebelah kanan. Saya berharap, pihak rumah sakit bertanggung jawab, dan bagaimana penanganan penyakit utama itu, ini masih terkatung-katung tanpa penjelasan pasti, sementara kami sudah dua minggu di sini,” harap Azhari dengan suara lirih.

Sementara Direktur RSUDZA Banda Aceh dr Isra Firmansyah SpA PhD yang diminta penjelasanya mengaku akan mengecek terlebih dahulu laporan tersebut.

“Terimakasih atas laporannya. Akan saya cek,” jawab dr Isra Firmansyah singkat melalui pesan WhatsApp.

Sayang, setelah beberapa hari usai Direktur RSUDZA memberikan penjelasan, belum ada tindak lanjut. Bahkan pengakuan mengejutkan, tim dokter yang melakukan embolisasi sudah lepas tangan dan tidak lagi melakukan pemantauan kondisi pasien. (IA)

Tutup