Ketika Amerika Serang Aceh: Kisah Kelam di Balik Kapal Friendship dan Dendam Kuala Batu
Infoaceh.net – Pagi itu, langit Salem, Massachusetts, masih diselimuti kabut musim dingin. Namun Kapten Charles Mosem Endicott, lelaki 38 tahun dengan sorot mata penuh tekad, sudah berdiri di atas geladak Friendship. Bukan untuk berlayar ke Eropa atau Karibia, melainkan menuju sebuah tempat nun jauh di ujung barat Sumatra: Aceh.
Endicott membawa misi penting: membeli lada—komoditas hitam kecil yang membuat bangsa Eropa tergila-gila selama berabad-abad. Aceh kala itu adalah pusat perdagangan rempah dunia. Kapal-kapal Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, dan Denmark ramai bersandar di pelabuhannya. Tapi pelayaran awal 1831 ini bukan sekadar urusan jual beli bagi Endicott.
Aceh bukan koloni. Ia adalah kerajaan independen. Bahkan menurut Lee Kam Hing dalam The Sultanate of Aceh (1995), Aceh menjalin hubungan resmi dengan Ottoman di Turki dan Kerajaan Inggris. Itu artinya, para pedagang asing tak bisa memperlakukan Aceh semena-mena. Belum lagi, perairannya dikenal rawan pembajakan. Tapi bagi Endicott, semua risiko itu layak diambil demi keuntungan besar.
Setelah berminggu-minggu mengarungi samudra, Friendship akhirnya tiba di Kuala Batu pada 7 Februari 1831. Endicott dan sebagian kru turun ke darat untuk merundingkan pembelian lada. Namun malapetaka datang saat negosiasi berlangsung. Sekelompok pria bersenjata menyerang kapal. Perwira pertama dan dua awak tewas, yang lain ditawan. Kapal pun direbut.
Farish A. Noor dalam The Battle of Quallah Battoo in 1832 (2014) menulis, serangan itu brutal dan tak terduga. Endicott yang menyadari bahaya segera meminta bantuan kapal asing yang melintas. Bersama mereka, Friendship berhasil direbut kembali—dalam kondisi rusak dan muatan senilai US$50.000 raib.
Saat kapal kembali ke Salem pada 20 Juli 1831, kota itu geger. Friendship, yang semula diharapkan membawa rempah-rempah eksotis, malah pulang dalam luka dan aib. Endicott langsung membuat laporan resmi ke pemerintah. Kabar ini pun sampai ke Gedung Putih.
Presiden Andrew Jackson, yang baru menjabat dua tahun, murka. Sebagai mantan jenderal garis keras, Jackson menganggap insiden Kuala Batu sebagai penghinaan. Dalam catatan resmi Angkatan Laut AS, 17 warga AS tewas dan 4 lainnya luka. Tanpa ragu, Jackson memerintahkan serangan balasan.
USS Potomac dikirim dengan 300 marinir bersenjata lengkap. Tujuannya jelas: membalas dan menghukum Kuala Batu. Ini adalah operasi militer pertama Amerika ke Asia, dan satu-satunya serangan langsung AS ke wilayah yang kini bernama Indonesia sejak kemerdekaan AS pada 4 Juli 1776.
Setahun kemudian, Potomac tiba di Aceh. Tanpa negosiasi, pelabuhan Kuala Batu dihujani meriam. Pasukan marinir mendarat dan meluluhlantakkan kota. Dalam hitungan hari, 450 warga Aceh dilaporkan tewas, sementara korban dari pihak AS hanya dua orang. Dunia mencatatnya sebagai operasi militer sepihak yang kejam dan tidak proporsional.
Namun kebenaran sesungguhnya baru terungkap jauh setelah itu. Dalam riset Death on an Empire (2011), Robert Booth mengungkap bahwa serangan terhadap Friendship tidak muncul dari kekosongan. Penduduk Aceh saat itu frustrasi terhadap praktik dagang curang pedagang AS sebelumnya. Mereka kerap menipu takaran dan mempermainkan harga. Ketika Friendship datang, itu hanya menjadi titik ledakan dari dendam yang sudah lama mengendap.
Peristiwa itu bukan cuma kisah kolonialisme biasa. Ini adalah kisah tentang keserakahan, perlawanan, dan kekerasan atas nama perdagangan. Serangan AS ke Aceh menandai bagaimana kekuatan besar dunia tak segan mengorbankan nyawa demi lada dan kekayaan. Bagi Aceh, luka itu tak pernah benar-benar sembuh.