INFOACEH.NET, JAKARTA –– Direktur Penangangan Konflik Tanah dan Hutan Adat (PKTHA), Direktorat Perhutanan Sosial dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI Enik Eko Wati menyambut baik dan mengapresiasi komitmen Pemko Subulussalam terhadap usulan Hutan Adat Kampong Singgersing Kemukiman Batu-Batu Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.
Hal itu disampaikan Enik saat menerima Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kampong Singgersing, Asisten I Bidang Pemerintahan Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Rakyat Kota Subulussalam, Kepala Mukim Batu-Batu, Sekretaris Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PRHIA) Universitas Syiah Kuala, dan sejumlah lembaga pendamping di ruang pertemuan PKTHA, Gedung Manggala Wanabakti KLHK di Jakarta, Rabu, 18 September 2024.
“Syarat pertama, ada SK MHA-nya dari pemerintah kabupaten/kota, memiliki relasi subjek dan objeknya antara MHA dan Hutan Adat yang diusulkan, dan sekilas yang disampaikan tim tadi, ini tidak ada masalah. Namun demikian, tetap diperlukan verifikasi teknis untuk memastikan semua persyaratan terpenuhi. Komitmen pemerintah daerah sangat kami hargai,” katanya.
Khairuddin, Asisten I yang hadir mewakili Pj Wali Kota Subulussalam menyampaikan Pemko Subulussalam berkomitmen menggol-kan hutan adat tersebut.
“Masalah hutan adat, pemerintah (Kota Subulussalam) sangat mendukungnya. Bahkan, komitmen tersebut telah diwujudkan dengan menerbitkan SK Tim Panitia MHA, kebetulan saya ketua tim,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, sekarang Pj Wali Kota, Azhari telah menetapkan MHA Kampong Singgersing dan Hutan Adat yang diusulkan dengan SK Wali Kota. SK tersebut telah diserahkan secara resmi kepada Kampong Singgersing, kemukiman Batu-Batu Kecamatan Sultan Daulat Subulussalam.
Saidiman Sambo, Kepala Mukim Batu-Batu yang hadir langsung mewakili MHA Kampong Singgersing mengatakan hutan adat yang diusulkan merupakan identitas MHA di sana.
“Hutan adat ini jati diri, identitas kami. Jadi, kami sangat berkepentingan hutan adat yang tersisa 600-an Ha diselamatkan ditengah tantangan penguasaan lahan sawit oleh perusahaan,” katanya.
“Kami berharap, agar usulan hutan adat kami segera diproses legalitasnya oleh KLHK,” pintanya.
Menjawab pertanyaan salah seorang tim PKTHA, terkait hutan adat yang diusulkan sekarang berbasis Kampong, padahal tahun lalu USK telah merekomendasikan Mukim sebagai MHA di Provinsi Aceh.
Sekretaris PRHIA USK, Dr Teuku Muttaqin Mansur MH menjelaskan, berdasarkan hasil kajian PRHIA subyek MHA di Aceh sebenarnya ada tiga, yakni Kampong/Gampong, Mukim, dan Panglima Laot.
Kampong dan Mukim, selain sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengurus administrasi dan pembangunan, juga sebagai Ketua MHA pada level masing-masing.
Karenanya, lanjut Muttaqin, jika terjadi sengketa adat dalam masyarakat maka yang menyelesaikannya adalah Kepala Kampong/Keuchik dan Imeum Mukim. Untuk sengketa nelayan di laut akan diselesaikan Panglima Laot.