Lahan Basah di Aceh Menghilang Tiga Kali Lebih Cepat, Pegiat Lingkungan Deklarasi Penyelamatan
Sungai-sungai digali dan dicemari. Aktivitas galian dan tambang membentang di sepanjang alur sungai di Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya.
Dampak negatif yang dirasakan masyarakat adalah kerusakan lahan, pencemaran merkuri, meningkatnya penyakit infeksi dan keracunan merkuri dan timbulnya konflik lingkungan hidup akibat ketidakadilan dalam pengelolaan pertambangan.
Di Beutong Ateuh Banggalang, meski sudah ada putusan Mahkamah Agung yang tidak mengizinkan investasi tambang emas, namun perjuangan warga menolak tambang masih berlanjut. PT. EMM dan PT. BME masih melirik daerah hutan hujan untuk dieksploitasi.
Dari hulu sungai Tamiang, warga Pining, Gayo Lues masih berjuang mendapatkan pengakuan hutan adat dari pemerintah. Usaha ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Penebangan pohon di bantaran Sungai Pining semakin mengancam sumber kehidupan masyarakat Gayo dan Tamiang.
Berdasarkan fakta dan persoalan di atas, lembaga peduli lingkungan mendeklarasikan Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh untuk:
1. Menguatkan peran aparat penegakan hukum terhadap kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan.
2. Menguatkan peran masyarakat adat sebagai pemilik dan pengelola hutan yang sah di wilayah masing-masing.
3. Meningkatkan status konservasi pada habitat lahan basah di seluruh Aceh.
Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh mengajak masyarakat bergabung dalam pernyataan sikap bersama bertepatan dengan peringatan Hari Lahan Basah Sedunia pada tanggal 2 Februari 2024.
“Lahan dan Hutan untuk Kesejahteraan Manusia, bukan pemilik modal, adalah bentuk sikap dan perjuangan kami mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030.
Karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk kita bertindak sekarang. Pemangku kebijakan perlu diingatkan dalam bentuk gugatan perwakilan (class action) atas sikap dan proses pembiaran terhadap penghilangan hutan dan peningkatan laju deforestasi di dalam kawasan hutan,” pungkasnya. (IA)