Pj Gubernur dan Sekda Aceh Dikabarkan Kurang Harmonis, Bustami Tak Dilibatkan
BANDA ACEH — Kisruh internal antara Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki dan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Bustami Hamzah saat ini dikabarkan makin memuncak dan bahkan semakin menjadi-jadi.
Puncak ini semakin kelihatan di depan khalayak ramai pasca perpanjangan jabatan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki pada 6 Juli 2023.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu DPRA mengusulkan nama Bustami Hamzah sebagai calon tunggal Pj Gubernur Aceh ke Presiden melalui Mendagri.
Namun Presiden Joko Widodo akhirnya memilih untuk memperpanjang Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh periode 2023-2024.
Koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani SHi mengkhawatirkan akibat dari kurang harmonisnya kedua pihak ini akan memberikan dampak negatif terhadap keputusan-keputusan strategis dan kinerja dalam lingkungan Pemerintah Aceh.
Askhalani membeberkan beberapa fakta yang dapat dijadikan sebagai temuan dan indikasi kuat tidak harmonisnya hubungan antara Achmad Marzuki dan Bustami Hamzah.
Pertama, kurang harmonisnya antara Pj Gubernur Aceh dan Sekda terlihat dari tidak dilibatkannya Sekda Aceh dalam memimpin rapat-rapat khusus terutama dalam pembahasan anggaran dan pembahasan penetapan kebijakan baik KUA-PPAS Tahun 2024 maupun penyusunan kebijakan APBA 2024, padahal fungsi Sekda Aceh sebagai pendelegasian wewenang pimpinan dan sebagai ketua TAPA (tim anggaran pemerintah Aceh) menjadi sangat sentral dalam perumusan dan pembahasan kebijakan.
Akan tetapi karena tidak ada pelibatan dan adanya pembatasan langsung serta tidak ada pendelegasian wewenang dari Pj Gubernur Aceh yang lebih menunjuk pihak lain dalam hal ini Kepala Bappeda sebagai penanggung jawab.
“Akibat serta dampak dari ini banyak keputusan yang diputuskan sama sekali tidak dibahas secara baik dan tertib sebagaimana perintah UU dan peraturan lainya,” ungkap Askhalani dalam keterangannya, Kamis (24/8).
Kedua, ada beberapa keputusan-keputusan yang berhubungan dengan proses surat menyurat, paraf kebijakan strategis seperti izin pertambangan, izin pengelolaan Migas, proses pergantian jabatan, proses pemindahan jabatan dan kenaikan pangkat, izin menghadiri acara serta keputusan staregis lainnya yang berhubungan dengan hajat hidup publik selama kurun waktu pasca perpanjangan jabatan Pj Gubernur Aceh sama sekali tidak melibatkan Sekda Aceh dan dibatasi secara langsung.
Kondisi ini, Askhalani, jelas memberikan dampak negatif serta berpotensi melanggar hukum, karena tindakan Pj Gubernur Aceh yang mengesampingkan fungsi dan wewenang Sekda Aceh tidak sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh pasal 101 ayat (1), (2), kemudian UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 213 ayat (1), (2), kemudian PP 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah pada Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4), Permendagri No 1 tahun 2023 tentang Tata naskah dinas dilingkungan Pemerintah Daerah, serta Pergub Aceh No 12 Tahun 2021 Tentang SOTK Sekda Aceh pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1).
Ketiga, berangkat dari fakta dan kondisi adanya kisruh internal antara Pj Gubernur Aceh dan Sekda Aceh jelas telah memberi dan menimbulkan dampak dan celah adanya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan menimbulkan celah adanya korupsi berencana sehingga secara langsung akan menggangu jalannya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dan jika ini terus dibiarkan dan tanpa ada upaya perbaikan dari para pihak maka ini akan sangat merugikan publik Aceh.
Apalagi kondisi saat ini adalah momentum untuk mempersiapkan Aceh sebagai daerah yang akan menyelenggarakan PON dan menjelang Pemilu 2024.
Keempat, berangkat dari berbagai fakta dan kondisional kisruh antara Pj Gubernur Aceh dan Sekda tidak segera dicarikan alternatif penyelesaian, maka sudah sewajarnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai pihak yang bertanggungjawab secara langsung terhadap kinerja Pemerintah Daerah untuk terjun langsung memantau kinerja Pj Gubernur Aceh dan melakukan evaluasi.
Karena secara hirarki pemerintahan jika kasus dan kondisi pemerintahan sebagaimana kondisi di Aceh berlangsung lama maka imbas paling besar adalah pada etos kerja dan lahirnya kebijakan korup, sebab beberapa kebijakan yang diambil oleh Pj Gubernur Aceh tanpa adanya paraf dan koreksi dari Sekda Aceh dan tidak melalui mekanisme dan penetapan kebijakan sebagaimana perundangan.
Kelima, Pj Gubernur Aceh yang tidak segera melantik Sekda Aceh sebagai Komisaris utama (Komut) Bank Aceh Syariah (BAS) berbarengan dengan para komisaris dan para direksi lainnya sebagaimana pelantikan yang dilakukan pada 8 Agustus 2023, semakin menambah daftar panjang ketidakharmonisan antara Pj Gubernur Aceh dan Sekda.
Padahal berdasarkan rekomendasi dari BI dan OJK maka untuk mengisi jabatan Komut Bank Aceh Syariah yang masih kosong harus segera dilakukan pengisian jabatan, hal ini bertujuan untuk keberlangsungan kinerja Bank Aceh Syariah dalam pengembangan investasi keuangan dan hubungan untuk membantu publik Aceh terutama mempercepat pengembangan ekonomi makro dan dunia usaha.
Keenam, kondisi ketidakharmonisan kedua pihak ini adalah buntut dari proses dinamika politik dan campur tangan pemerintah pusat dalam mengambil kesimpulan terhadap usulan penetapan perpanjangan jabatan Pj Gubernur, dan selain itu ketidaksehatan cara pandang Pj Gubernur Aceh dalam memahami dinamika politik dalam penetapan kerlanjutan kepemimpinan Gubernur Aceh tidak ditarik sebagai politik kedewasaan tapi seperti sifat kekanak-kanakan.
“Seharusnya begitu pilihan Pemerintah Pusat untuk memperpanjang masa jabatan Pj Gubernur Aceh, maka pertentangan dengan Sekda Aceh juga harus diakhiri sehingga kedua pihak kembali dapat menjalankan tugas dan wewenang masing-masing sebagiamana ketetapan perundangan,” pungkasnya. (IA)