BANDA ACEH — Rektor UIN Ar Raniry Prof Dr Mujiburrahman MAg mengkritisi penerapan syariat Islam di Aceh yang telah berjalan selama 21 tahun lebih, namun belum bisa membawa hasil yang baik sebagaimana harapan, bahkan terkesan gagal.
Akibat terjadi sejumlah kesalahan serius dalam penerapan syariat Islam oleh otoritas Pemerintah Aceh, mengakibatkan syariat Islam yang dijalankan hari ini gagal dalam mengislamkan orang Aceh.
“Ini yang harus menjadi perhatian, bagaimana implementasi syariat Islam di Aceh yang gagal hari ini dalam bahasa saya sendiri gagal mengislamkan orang Aceh secara baik,” ujar Prof Mujiburrahman pada acara silaturahmi dan coffee morning insan pers dengan Rektor UIN Ar-Raniry di kampus Darussalam, Sabtu (6/8)
Prof Mujiburrahman awalnya berbicara terkait peran UIN Ar-raniry dalam membantu Pemerintah Aceh untuk mengimplementasikan syariat Islam yang sesuai standar. Syariat Islam didideklarasikan pada tahun 2001 lalu di masa kepemimpinan Gubernur Aceh Abdullah Puteh.
“Sekarang sudah 2022, artinya sudah 21 tahun, tapi kondisi syariat Islam di Aceh kalau kita lihat sekarang lebih parah dari yang sebelumnya,” kata Prof Mujib.
Ditambahkannya, sebagai lembaga pendidikan, UIN Ar-Raniry akan membantu pemerintah Aceh untuk mengimplementasikan atau melaksanakan syariat Islam dengan benar sesuai standar. Rektor menawarkan konsep syariat Islam moderat untuk diterapkan di Tanah Rencong yakni Islam rahmatan lil’alamin yang berbasis harmonisasi manusia, alam dan tuhan.
Menurutnya, semakin harmonis manusia, alam dan tuhan maka konflik dan malapetaka tidak akan terjadi.
“Karena kita ini berada dalam konteks NKRI, dalam hal ini kita ingin ke depannya konsep pelaksanaan syariat Islam itu harus dalam konteks Islam yang moderat. Dalam konsep yang secara simpel, kami akan melakukan harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan, ini sedikit filosofi nanti bisa kita dalami,” terangnya.
“Semakin harmonis manusia, alam, dan Tuhan, maka selesai masalah, di situ akan rahmatan lil’ alamin. Semakin tidak harmonis manusia, alam, dan tuhan, di situ semakin terjadi konflik. Di situ akan ada malapetaka,” tambahnya.
Prof Mujiburrahman menjelaskan pernah berdiskusi dengan seorang profesor ahli fiqih dari Universitas Al-Azhar Cairo Mesir bernama Prof Ali Jumu’ah. Dalam diskusi itu, Ali menyebutkan ada tiga tahapan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendidik masyarakat hingga mengerti dan mengamalkan tentang Islam dengan benar.
Mendidik itu disebut tidak dilakukan Pemerintah Aceh dan tidak ada dalam program pendidikan.
“Kita hampir tidak ada program pendidikan yang, didik ini sampai mengerti betul halal haramnya, baik buruknya, sampai masyarakat ini betul-betul mengerti dan mengamalkan Islam dengan benar itu tugas negara. UIN Ar-Raniry sebagai bagian dari institusi negara juga bertugas untuk itu, sekolah, Dinas Syariat Islam, semuanya bertugas mendidik masyarakat mengerti islam dengan benar. Ini tahap pertama,” ungkapnya.
Kemudian, tahap kedua adalah membenahi soal pranata sosial di tengah masyarakat. Mujiburrahman menyontohkan, hal paling kecil adalah seperti pedagang ayam di pasar. Apakah mereka telah melakukan pemotongan ayam dengan baik dan benar sesuai yang diajarkan dalam hukum Islam.
“Saya pernah lihat dengan mata kepala sendiri, orang yang menyembelih ayam itu anak muda, pakai celana pendek, tidak baca Bismillah, tidak ada baca doa, tidak ngerti dia cara potong ayam sesuai hukum syariat. Kemudian, ribuan ayam ini tersebar ke rumah makan di Banda Aceh,” imbuhnya.
“Ini pranata sosial, ini tugas negara, seharusnya negara apakah Dinas Syariat Islam atau MPU mendidik mereka memotong ayam itu dengan benar. Kalaupun mereka tidak mengerti, letakkan petugas khusus sehingga ayam itu benar-benar halal dikonsumsi, karena kalau tidak kita seperti makan bangkai tiap hari atau mengkonsumsi makanan atau daging yang haram,” lanjutnya.
Pranata sosial lainnya, mudahkan orang untuk bekerja dan nikah. Anak muda dimudahkan mencari rezeki untuk nikah, dan ini menjadi tugas negara dalam hal ini Pemerintah
Setelah itu semua dibenahi, baru masuk pada tahapan pelaksanaan hukuman. Setelah masyarakat mengerti Islam dengan benar, pranata sosial diperbaiki oleh negara, tetapi masih ada masyarakat yang melakukan kejahatan maka laksanakan hukuman cambuk.
“Ini kita belum apa-apa sudah hukuman cambuk, masyarakat kadang ada yang salatnya belum benar. Ini yang harus kita luruskan dan ini menjadi salah satu tugas UIN Ar-Raniry juga untuk mendukung pemerintah ke depannya,” terang Prof Mujiburahman. (IA)