Beliau merupakan ulama Aceh yang dikenal dengan keahlian ilmu falak. Lahir dari keluarga ulama dan bangsawan, ayahnya masih keturunan bangsawan Aceh Besar yang hijrah ke Teupin Raya, adapun ibunya keturunan ulama yang berasal dari Lhoksukon.
Nama asli beliau adalah Teungku Muhammad Ali Irsyad yang kemudian setelah beliau menjadi seorang ulama yang luas pengaruhnya dikenal pula dengan Abu Teupin Raya. Abu Teupin Raya pecinta ilmu dan serius dalam mengembangkan ilmunya hingga akhir hayat beliau.
Mengawali masa awal belajar Abu Teupin Raya berguru langsung kepada ayahnya Teungku Muhammad Irsyad yang juga seorang Teungku dan qadhi ulee balang. Selain mempelajari dasar-dasar ilmu dari orang tuanya, Abu Teupin Raya juga belajar di sekolah yang dikhususkan untuk anak bangsawan ketika itu, karena ayahnya adalah seorang bangsawan. Maka tidak mengherankan bila sejak kecil telah tertanam dalam dirinya kecintaan kepada ilmu dan ketaatan dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah menyelesaikan pendidikan awal dari orang tuanya, kemudian mulailah Abu Teupin Raya mengembara dalam menuntut ilmu dari berbagai lembaga pendidikan dan para guru yang juga ulama, sehingga mengantarkan beliau nantinya menjadi seorang ulama dan ilmuan yang berpengaruh. Tempat yang pertama yang beliau tuju ialah Dayah di Ulee Glee tepatnya dayah di Uteun Bayu yang dipimpin oleh seorang ulama terpandang Ulee Glee yaitu Teungku Abdul Majid bin Teungku Abdurrahman. Teungku Abdul Majid adalah seorang ulama yang memiliki kedalaman ilmu, dan menguasai berbagai cabang keilmuan Islam secara mendalam.
Maka tidak mengherankan bila di Dayah Uteun Bayu Abu Teupin Raya telah mendalami berbagai cabang keilmuan mulai dari tafsir, hadits, nahwu, sharaf, tauhid, ilmu akhlak dan ilmu-ilmu lainnya. Bahkan pada masa di Dayah Teungku Abdul Majid, karena kesungguhan dan kecerdasannya Abu Teupin telah ditunjuk sebagai asisten Teungku Abdul Majid.
Selain Abu Teupin Raya yang menjadi lulusan Dayah Uteun Bayu, ada juga ulama lainnya yang dikenal oleh masyarakat Uteun Bayu, bahkan panutan mereka yaitu Teungku Abdul Hamid yang dikenal dengan Abu Uteun Bayu, seorang ulama yang zuhud ahli dalam ilmu fikih, beliau juga pernah lama belajar kepada Teungku Abdul Majid Pimpinan Dayah Uteun Bayu.
Abu Uteun Bayu dan Abu Teupin Raya kedua-duanya merupakan alumni Dayah Uteun Bayu yang keduanya adalah ulama besar yang memiliki pengaruh di wilayahnya masing-masing, dan keduanya murid dari ulama Uteun Bayu Teungku Abdul Majid.
Setelah lebih dari sepuluh tahun berada di Dayah Uteun Bayu, kemudian Abu Teupin Raya memohon izin kepada gurunya untuk melanjutkan pendidikannya ke tempat yang lain.
Tempat yang dituju kemudian adalah Gandapura Bireun ke sebuah Dayah yang dipimpin oleh seorang ulama lulusan Mekkah yaitu Dayah Darul Ulum yang dipimpin oleh Teungku Haji Usman Maqam yang berasal dari Krueng Panjoe. Di Dayah Darul Ulum Gandapura Abu Teupin Raya mulai mempelajari ilmu falaq dari gurunya Teungku Haji Usman Maqam yang dikenal ahli dalam ilmu falak.
Teungku Haji Usman Maqam adalah seorang ulama lulusan Mekkah selama belasan tahun belajar di Mekkah seperti di Madrasah Saulatiah dan Darul Ulum Diniyah sehingga telah mengantarkan Teungku Haji Usman Maqam menjadi seorang ulama yang rasikh ilmunya, bahkan beliau sempat menjadi pengajar di Darul Ulum Mekkah. Adapun ilmu yang sangat masyhur dimiliki oleh Teungku Haji Usman Maqam selain ilmu keislaman lainnya ialah ilmu Qira’at dan ilmu falak.
Belajarlah Abu Teupin Raya dibawah bimbingan gurunya Pimpinan Dayah di Gandapura dengan menfokuskan kajian ilmu falak. Dan di Dayah ini juga beliau mulai menulis tulisannya dalam ilmu nahwu dan sharaf.
Karena setelah menjadi seorang ulama dan ilmuan kelak, Abu Teupin Raya dikenal sebagai seorang ulama Aceh yang banyak menulis kitab dalam berbagai bahasa, lebih kurang karyanya mencapai 28 judul dalam 34 jilid semuanya, ditulis dengan bahasa Arab, Bahasa Indonesia dan Bahasa Gayo semuanya ditujukan untuk meperluas dakwah islamiyah.
Cikal bakal beliau menulis dari Dayah Darul Ulum Gandapura, karena memang Teungku Haji Usman Maqam Krueng Panjo juga seorang penulis yang pernah menulis sebuah kitab dalam ilmu Qira’at lebih dari lima ratus halaman.
Setelah belajar di Dayah Darul Ulum Krueng Panjo tentunya Abu Teupin Raya telah menjadi seorang yang alim, namun demikian, beliau merasa ilmunya masih minim sehingga mengantarkan beliau untuk belajar sampai ke Mesir.
Pada tahun 1961 beliau mendapat kesempatan dari Kiyai Abdul Wahid Hasyim anaknya Kiyai Haji Hasyim Asy’ari yang ketika itu sebagai menteri agama untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir. Maka berangkatlah Abu Teupin Raya ke Mesir. Selain Abu Teupin Raya yang mendapat kesempatan belajar ke Mesir dari Aceh adalah Abuya Muhibbudin Waly dan Abuya Mawardi Waly yang pernah belajar dalam rentang waktu 1964 sampai 1970, Abuya Muhibbudin Waly dalam keberangkatan ke Mesir banyak dibantu pula oleh Kiyai Ahmad Syaikhu pendiri Pesantren Alhamidiyah Depok.
Saat tiba di Mesir, Abu Teupin Raya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan. Beliau belajar dengan tekun terutama memperdalam ilmu falak yang pernah dua tahun beliau pelajari dari gurunya Teungku Haji Usman Maqam di Krueng Panjoe.
Di Mesir beliau berguru kepada Syekh Abdul Ulaa al Bana, seorang ulama Mesir yang ahli dalam ilmu falak. Ketika belajar dari gurunya Syekh Abdul Ulaa al Bana, Abu Teupin Raya memperoleh ijazah dari gurunya dan diizinkan untuk mengembangkan ilmu tersebut di Aceh, dan layak menyandang derajat al-Falaqi artinya seseorang yang telah alim dalam ilmu falak.
Setelah belajar puluhan tahun di berbagai tempat, pulanglah Abu Teupin Raya di tahun 1966 untuk mengembangkan keilmuanya di Aceh tepatnya di Teupin Raya yang kemudian dikenal dengan dayah yang didirikan beliau bernama Darussa’adah yang sekarang telah memiliki puluhan cabang seluruh Aceh.
Walaupun Abu Teupin seorang ulama yang bermazhab Syafi’i dan beraqidah Asy’ari, namun beliau adalah ulama yang moderat dan insaf dengan berbagai perbedaan pandangan bila itu masih dalam kajian keilmuan dan memiliki rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Abu Teupin Raya selain sebagai ulama, beliau juga seorang pendidik ditandai dengan membangun lembaga pendidikan umum setingkat Tsanawiyah dan Aliyah di Pesantren Darussa’adah.
Menurut beliau pendidikan umum tidak berbenturan dengan pendidikan agama, selama kedua-duanya menjadi maslahat bagi ummat Islam. Selain pendidik, beliau juga seorang ulama penulis.
Dengan karya tulisnya telah berhasil mematahkan ungkapan bahwa ulama dayah tidak menulis. Maka bisa dijawab bahwa selain mendidik kader-kader hebat, ulama dayah juga menulis banyak buku dan kitab seperti yang telah ditorehkan oleh Abu Teupin Raya. Setelah pengabdian yang besar terhadap masyarakat, wafatlah Abu Teupin Raya di tahun 2003. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.
Ditulis Oleh:
Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary, Lc (Ketua STAI al Washliyah Banda Aceh; Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh; dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama)