Teungku Chik Di Tiro, Ulama Yang Menggelorakan Jihad Perang Sabil
Perlahan namun pasti Teungku Chik Di Tiro menyusun kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari anak muda, orang tua, perempuan, dan semuanya satu semboyan “Hidup Mulia atau Mati Syahid”. Bahkan fase ini disebut oleh Belanda “Aceh seperti Api dalam sekam”.
Pertahanan Teungku Chik Di Tiro semakin solid dengan hadirnya Teungku Chik Pantee Kulu tentu dengan Hikayat Perang Sabil yang membahana dan ‘ibeudoh bule’ bagi yang mendengarkannya. Jadilah kekuatan Teungku Chik Di Tiro semakin kokoh dengan pula para panglima perang yang rata-rata memiliki ilmu dan keberanian di atas rata-rata seperti Habib Teupin Wan, Teuku Chik Paya Bakong, Pang Jareung dan lain-lain.
Terhitung mulai 1881 meletuslah perang Aceh dibawah komando mujahid besar Teungku Chik Di Tiro. Selama sepuluh tahun perang berlangsung dengan sangat dahsyatnya. Perang periode 1881-1891 adalah perang yang paling kelam dalam sejarah Perang Belanda. Seluruh rakyat bersatu padu terpanggil untuk melawan Belanda. Akhirnya pasukan Belanda hanya mampu mengurung diri di benteng-benteng mereka dalam keadaan ketakutan.
Seluruh siasat Belanda tumpul berhadapan dengan pasukan Teungku Chik Di Tiro. Setelah tidak mampu melawan Teungku Chik Di Tiro secara langsung dan terbuka, Belanda kemudian mencari siasat busuk.
Suatu hari di tahun 1891, ketika Teungku Chik Di Tiro sedang mengunjungi salah satu benteng pasukannya, dihidangkan kepada beliau makanan dengan burung puyuh yang telah dibubuhi racun, yang dilakukan oleh salah satu pengkianat.
Tanpa menaruh curiga, beliau pun makan hidangan tersebut. Mulailah beliau lemah karena efek racun, dan tiga hari setelahnya Pejuang Besar itu wafat di tahun 1891.
Setelah wafatnya Teungku Chik Di Tiro, perang dilanjutkan oleh anaknya Teungku Muhammad Amin Di Tiro hingga syahid di tahun 1896. Episode selanjutnya dipimpin oleh Teuku Umar Johan Pahlawan hingga syahid pula di tahun 1899.
Setelah era ini, perang Aceh secara besar-besaran mulai mereda, kecuali beberapa perang dalam lingkup yang lebih kecil seperti penyerangan Tangsie Belanda di Blangpidie oleh Teungku Peukan dan para pengikutnya pada tahun 1926, serta perlawanan Teuku Raja Angkasah dan Cut Ali di Aceh Selatan.