Teungku Chik Lampaloh, Ulama Ahli Tafsir Aceh Bangsawan Mataram
Sehingga tidak mengherankan pada masa terjadi peperangan Aceh, beliau merupakan salah satu ulama yang dibatasi gerak-geriknya, karena mengingat pemahaman agamanya yang mendalam dan pengaruhnya yang besar.
Disebutkan dalam catatan Belanda bahwa Teungku Chik Abdurrahman Lampaloh merupakan seorang tokoh yang alim. Kealiman Teungku Chik Lampaloh dalam bidang tafsir Al-Qur’an tersebar ke seluruh Aceh.
Pada saat berkecamuknya perang Aceh, karena ruang geraknya yang dibatasi, beliau kemudian mengungsi ke daerah Indrapuri dengan anak dan isterinya. Setelah reda peperangan, beliau kembali ke Lampaloh untuk menghidupkan lagi pengajian-pengajiannya yang terbengkalai dalam iklim yang tidak kondusif. Maka mulailah beliau menata kembali kehidupannya untuk berjihad secara intelektual untuk masyarakatnya.
Pada masa hidupnya juga, beliau banyak dikunjungi oleh tokoh masyarakat dari Jawa khususnya Mataram yang merupakan tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Tidak terhitung masyarakat Jawa yang datang kepada Teungku Chik Lampaloh untuk bersilaturahmi kepada salah satu keturunan raja mereka yang telah menjadi ulama besar.
Disebutkan oleh cucunya Teungku Ishaq Saman, bahwa masyarakat Mataram begitu menghormati dan memuliakan Teungku Chik Lampaloh, sehingga apabila berjumpa dengan beliau mereka mulai dari depan pintu rumahnya memberi penghormatan seperti kepada seorang raja.
Tentu hal ini tidak beliau harapkan, namun demikianlah budaya penghormatan rakyat Mataram kepada raja dan bangsawan yang mereka hormati. Bila memperhatikan kiprah dan keulamaan Teungku Chik Lampaloh, beliau bisa dianggap sebagai seorang ulama besar yang memiliki nilai spritual yang tinggi. Beliau seperti para teungku chik yang lain telah berkontribusi secara maksimal untuk mencerdaskan masyarakat Aceh.
Apalagi bidang keahlian tafsir Al-Qur’an yang tidak banyak yang memiliki keahlian tersebut. Setelah era Syekh Abdurrauf al-Singkili, belum ditemukan ulama yang ahli dalam bidang Al-Qur’an apalagi mengahdirkan karya tafsir seperti Turjuman al-Mustafid Syekh Abdurrauf. Baru di tahun 1813 ke atas hidup seorang ulama ahli tafsir dari Banten Syekh Nawawi al-Bantani dengan karya Marahun Labid atau dikenal dengan Tafsir al-Munir.