Teungku Peukan Blangpidie, Ulama Kharismatik Simbol Perlawanan Kolonial Belanda
Menyebutkan perjalanan keilmuan para ulama Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya rasanya belum sempurna sebelum mengenal tentang ulama yang berasal dari Padang Ganting Manggeng yang disebut dengan Teungku Peukan.
Bagi masyarakat Blangpidie secara khusus, Teungku Peukan adalah ulama dan simbol perlawanan rakyat untuk kolonial Belanda. Teungku Peukan yang dibahas ini merupakan ulama anak dari seorang ulama yang disebut dengan Teungku Padang Ganting.
Teungku Peukan bersama pengikutnya syahid di tahun 1926, dan usianya ketika itu 40 tahun, karena beliau diperkirakan lahir tahun 1886. Kuburan beliau yang berada dalam komplek kawasan Mesjid Jamik Baitul Adhim Blangpidie menjadi saksi betapa kokohnya semangat yang dimiliki ulama tersebut dengan para pengikutnya.
Peristiwa perlawanan Teungku Peukan memiliki kemiripan dengan peristiwa perlawanan para ulama di Singaparna Tasikmalaya Jawa Barat dibawah pimpinan Kiyai Haji Zainal Mustafa dan mirip pula dengan perlawanan masyarakat Cilegon yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim Banten dan para ulama lainnya.
Tidak banyak informasi tentang awal mula perjalanan intelektual Teungku Peukan sang ulama tersebut. Tapi yang pasti sebelum terjadi pemberontakan, pada tahun 1921 di Labuhan Haji dikirim seorang ulama terpandang yang dikenal dengan Abu Lampisang yang berasal dari Siem Aceh Besar.
Sedangkan di Blangpidie dikirim dari Kuta Raja Teungku Muhammad Yunus Lhoong yang dikenal dengan Teungku di Lhoong.
Teungku di Lhoong adalah ulama yang anti kolonial Belanda. Beliau disebutkan berteman dengan Teungku Peukan. Sehingga sebelum melakukan penyerangan Tangsie Belanda, Teungku Peukan bersama pasukannya singgah di Balai Pengajian Teungku di Lhoong setelah menempuh perjalanan 20 KM berjalan kaki dari Manggeng.
Tepatnya subuh Jumat tanggal 11 September 1926, Teungku Peukan bersama puluhan pengikutnya menyerang tangsie Belanda pada waktu sahur, maka para marsose yang sedang terlelap banyak yang tewas seketika.
Setelah melihat kemenangan dan larinya para marsose tersebut, Teungku Peukan kemudian mengumandangkan azan. Ketika beliau mengumandangkan azan, salah satu pasukan Belanda menembak Teungku Peukan, dan beliaupun syahid dalam peristiwa itu.