PLTA Lutueng Rusak Hutan dan Ganggu Koridor Gajah, Plt Gubernur Diminta Tinjau Ulang
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur
Banda Aceh — Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lutueng di Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie akan berdampak serius terhadap keberlangsungan kawasan hutan, konflik satwa dengan manusia, memperparah pertambangan emas ilegal maupun ilegal logging, mengggangu kawasan hutan yang telah diperuntukkan kepada masyarakat, menimbulkan bencana ekologi, serta tidak sesuai dengan tata ruang.
Karenanya, Plt. Gubernur Aceh dan Bupati Pidie diminta untuk meninjau ulang terkait rencana pembangunan Perusahaan Listrik Tenaga Air (PLTA) Lutueng tersebut.
“Plt Gubernur Aceh dan Bupati Pidie diharapkan untuk meninjau kembali dan tidak menerbitkan segala bentuk izin dan rekomendasi terkait rencana pembangunan PLTA Lutueng,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur dalam keterangannya, Rabu (3/6).
Menurutnya, lokasi pembangunan PLTA Lutueng termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki kegiatan pertambangan emas illegal dan illegal logging.
Dimana, kegiatan pertambangan emas illegal tersebut sampai hari ini masih aktif dengan melibatkan 2064 penambang, 297 lubang tambang yang berada di 850 hektare kawasan hutan lindung.
Dengan dilakukannya pembangunan PLTA Lutueng diperkirakan akan menjadi persoalan baru dalam kelangsungan DAS dan akan berdampak serius terhadap bencana ekologi sebagaimana perkiraan dampak negatif yang telah disebutkan dalam pengumuman studi AMDAL di media massa.
“Kawasan pembangunan PLTA Lutueng memiliki riwayat konflik Gajah dengan manusia, sehingga diperkirakan hadirnya PLTA Lutueng akan menganggu kawasan koridor Gajah,” ujarnya.
Kemudian, kata M Nur, berdasarkan Qanun Kabupaten Pidie Nomor 5 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2034. Dalam pasal 16 ayat (2) disebutkan, pembangkit tenaga listrik di Gampong Lutueng adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Krueng Leumieh berkapasitas 6,85 MW.
Jadi, PLTA Lutueng di Krueng Geumue yang berkapasitas 16 MW tidak dikenal dalam Qanun RTRW Kabupaten Pidie.
Lalu, lanjut M Nur, pada pasal 25 ayat (2) disebutkan, kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi Geumpang, Mane, Tangse, Tiro/Truseb, Titue, Keumala dan Glumpang Tiga. Pasal 35 Gampong Lutueng diperuntukkan pariwisata alam sebagai pusat konservasi gajah (Conservation Regional Unit).
Selain itu, M Nur juga menuturkan, pembangunan PLTA Lutueng akan berdampak terhadap kawasan hutan yang sudah diberikan izin oleh pemerintah kepada masyarakat untuk mengelola dan menjaga hutan, yaitu sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK, 471/ Menlhk–Setjen/2015 tentang penetapan Areal Kerja Hutan Desa Gampong Mane seluas 4.620 Ha pada kawasan hutan lindung di Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie.
Selanjutnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK, 469/ Menlhk –Setjen/2015 tentang penetapan Areal Kerja Hutan Desa Gampong Mane seluas 2.271 Ha pada kawasan hutan lindung di Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK, 470/ Menlhk –Setjen/2015 tentang penetapan Areal Kerja Hutan Desa Gampong Mane seluas 1.048 Ha pada kawasan hutan lindung di Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie.
“PLTA Lutueng tidak diatur dalam sistem jaringan energi Aceh sesuai pasal 23 Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang RTRW Aceh Tahun 2013-2033,” ungkap M. Nur.
Karena berbagai persoalan tersebut, M Nur juga meminta Ketua Komisi AMDAL untuk tidak melanjutkan proses pembahasan dokumen lingkungan kegiatan pembangunan PLTA Lutueng di Pidie tersebut.
“Jika PLTA Lutueng tetap dilanjutkan pembangunannya, maka akan bertentangan dengan peraturan perundang-udangan, prosedural perizinan, dan substansi pembangunan,” pungkasnya. (IA)