Banda Aceh — Provinsi Aceh hingga saat ini masih dikategorikan sebagai daerah yang belum mandiri keuangan di Indonesia. Bahkan, kemandirian keuangan Aceh masih sangat rendah yaitu berada di peringkat 29 dari 34 provinsi.
“Pemerintah Aceh sendiri berada di peringkat 29 dari 34 provinsi di Indonesia dengan Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) senilai 0,1715 atau dikategorikan sebagai daerah yang belum mandiri, demikian halnya dengan seluruh Pemkab dan Pemko di Aceh yang juga dikategorikan sebagai daerah yang belum mandiri,” ungkap Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Aceh, Safuadi dalam Media Gathering dan Pers Release “Kinerja APBN Sampai dengan Triwulan III 2020” Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Aceh.
Dalam kegiatan yang berlangsung di Gedung D, Gedung Keuangan Negara Banda Aceh, Senin (19/10/2020) juga dihadiri Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh, Tarmizi, Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Aceh, Syafriadi, dan Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Aceh, Syukriah.
Ukuran kemandirian suatu daerah dapat dinilai dengan Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) Daerah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan daerah dalam membiayai belanja daerah tanpa bergantung pada transfer daerah.
Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2018 dan 2019 BPK RI menyebutkan, kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah yang sangat tinggi.
Angka indeks kemandirian fiskal Tahun Anggaran 2019 memperlihatkan perbedaan indeks yang sangat mencolok antara DKI Jakarta dengan indeks yang tertinggi sebesar 0,7107 dengan Papua Barat dengan indeks yang terendah senilai 0,0427.
Terkait daerah yang belum mandiri ini, Safuadi menerangkan ini menjadi cerminan bahwa dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota untuk membiayai belanjanya masih sangat bergantung pada transfer daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun belum optimal untuk dapat diandalkan membiayai pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
“Menjadi tugas kita bersama, bersinergi dan berkolaborasi untuk meningkatkan kemandirian Aceh dalam pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Meningkatnya kemandirian Aceh juga akan menjadi salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran Aceh,” katanya.
Ia menjelaskan, pada Triwulan III tahun 2020 ini, Pendapatan Negara yang pertama yaitu Penerimaan Perpajakan, Target nasional Penerimaan Pajak untuk Tahun 2020 adalah sebesar Rp 1.198 Triliun.
Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan target penerimaan pajak untuk wilayah Aceh didominasi penerimaan PPh, PPN, PBB Sektor P3 dan Bea Meterai yang ditargetkan sebesar Rp 4,52 Triliun.
Kanwil DJP Aceh juga mencatat, hingga September 2020, realisasi perpajakan terkumpul sebesar Rp2,58 triliun atau 57,08% dari target penerimaannya.
“Sektor administrasi pemerintahan merupakan penyokong utama penerimaan pajak yaitu sebesar 23,92%, sedangkan untuk sektor lainnya yaitu perdagangan besar dan eceran sebesar 19,07%, jasa keuangan dan asuransi sebesar 13,67%, konstruksi sebesar 13,53%, industri pengolahan sebesar 7,73 %, pertanian, perhutanan dan perikanan sebesar 4,06% dan terakhir pertambangan sebesar 3,51%,” paparnya.
Jika dilihat dari kontribusi per sektor, di luar sektor administrasi pemerintahan, perekonomian Aceh digerakkan oleh sektor perdagangan dan konstruksi, kecilnya kontribusi dari sektor industri dikarenakan jumlah industri di Aceh masih sangat sedikit.
Sementara untuk Penerimaan Bea dan Cukai, Kanwil Bea Cukai Aceh mencatat hingga September 2020 telah terkumpul sebesar Rp4,57 miliar atau 169,26% dari target yang ditetapkan sebesar Rp 2,7 Miliar.
Penerimaan ini jug terdiri dari Bea Masuk sebesar Rp403,7 juta, Bea Keluar sebesar Rp3 miliar dan Cukai sebesar Rp1,14 miliar.
“Di samping melakukan optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai, dari sisi pengawasan Kanwil Bea dan Cukai Aceh juga telah melakukan 482 penindakan atas berbagai jenis komoditas seperti narkotika, psikotropika dan prekusor (NPP), hasil tembakau, unggas hidup dan bawang merah yang melanggar ketentuan Kepabeanan dan Cukai,” jelasnya.
Tercatat hingga Oktober 2020, Bea Cukai Aceh telah menindak sebanyak 482 kali dan menggagalkan 7 kasus penyelundupan narkotika jenis sabu sebanyak 296,57 kilogram. Bea Cukai Aceh juga menindak percobaan penyelundupan bawang merah sebanyak 55,5 Ton dan unggas sebanyak 1.015 ekor,” ungkapnya.
“Hasil penindakan itu menyelamatkan negara dari potensi kerugian negara sebesar lebih dari Rp 18 Miliar dan atas penggagalan kasus penyelundupan narkotika tersebut telah menyelamatkan lebih dari 1 Juta jiwa generasi Indonesia,” katanya.
Selanjutnya, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Atas PNBP dari Pengelolaan Kekayaan Negara ditetapkan penerimaan sebesar Rp11,67 miliar, Kanwil DJKN Aceh mencatat realisasi sebesar Rp6,95 miliar.
Safuadi juga menyebutkan, penyebaran pandemi COVID-19 menjadi salah satu penyebab masih rendah PNBP karena menurunnya pendapatan dan daya beli sektor swasta atau masyarakat yang berdampak pada rendahnya pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN).
“Demikian halnya dengan masih rendahnya realisasi PNBP dari Lelang sebesar Rp8,41 miliar atau 47,29% dari target sebesar Rp17,56 miliar,” kata Kakanwil DJBC Aceh
Langkah yang dibutuhkan untuk meningkatkan capaian PNBP yakni pertama untuk PNBP Pengelolaan Kekayaan Negara adalah melakukan pemetaan aset yang berpotensi untuk dimanfaatkan dan memberdayakan aset agar lebih produktif atau tidak menganggur sehingga dapat memberikan kontribusi PNBP kepada negara dan/atau nilai ekonomis kepada masyarakat.
Selanjutnya, untuk PNBP dari Lelang adalah melakukan koordinasi secara intens dengan para pemohon lelang (perbankan), sosialisasi lelang kepada masyarakat, penyebarluasan pengumuman lelang.
Lalu, implementasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menjadi tantangan tersendiri terutama untuk kredit macet yang penyelesaiannya dilakukan melalui penjualan barang jaminan secara lelang.
Pengurusan Piutang Negara memberikan kontribusi PNBP sebesar Rp206,28 juta atau sebesar 730% dari target sebesar Rp28 Juta.
Terlepas lampauan dari target PNBP tersebut, masih terdapat beberapa kendala dalam penyelesaian Piutang Negara, antara lain rendahnya tingkat kemampuan penanggung hutang dalam menyelesaikan hutang, usaha tidak ada lagi/bangkrut, tidak didukung barang jaminan, barang jaminan tidak marketable/belum clear secara hukum serta tidak diketahuinya alamat atau keberadaan penanggung hutang.
Rencana aksi penyelesaiannya antara lain mengoptimalkan pemanggilan, penagihan dengan surat paksa, penyitaan, lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan, dan alternatif lain untuk percepatan penyelesaian Piutang Negara.
Di sisi lain dalan struktur APBN, Belanja Negara menjadi instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, termasuk juga pertumbuhan ekonomi di daerah.
Sampai dengan akhir Triwulan III, Kanwil DJPb Aceh mencatat realisasi Belanja Kementerian Negara/Lembaga di Provinsi Aceh mencapai Rp 8,53 triliun dari pagu sebesar Rp13,05 triliun atau sebesar 65,33%.
Berdasarkan realisasi Triwulan III, dimana Belanja Barang (58,57%), Belanja Modal (59,19%) serta Belanja Bantuan Sosial (58,05%) serta sudah adanya kemudahan proses seperti Revisi DIPA dan perpanjangan jam layanan, seluruh satuan kerja diminta untuk melakukan percepatan pencairan anggarannya.
Percepatan ini menjadi keharusan mengingat rata-rata masih ada 40% Belanja Barang, Belanja Modal dan Belanja Bantuan Sosial yang belum terserap.
“Melalui percepatan ini diharapkan dapat merespon kembali naiknya belanja konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi Aceh dan Nasional yang mengalami kontraksi di dua triwulan terakhir ini,” sebutnya lagi.
Sementara, untuk realisasi beberapa komponen Belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) juga menunjukkan kinerja yang baik.
Realisasi Dana Desa sampai dengan akhir kuartal III telah mencapai 82,06% atau tersalurkan sebesar Rp4.08 triliun dari total pagu Dana Desa di Provinsi Aceh yang sebesar Rp4,98 triliun.
Sementara, penyaluran DAK Fisik dan Cadangan DAK Fisik per 30 September telah mencapai 92,17% atau sebesar Rp1,8 triliun dari total pagu DAK Fisik & Cadangan DAK Fisik sebesar Rp1,95 triliun.
Dengan upaya sinergi bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Aceh, penyaluran Dana Desa oleh Kabupaten/Kota terus didorong agar penyaluran tahap III ke seluruh Gampong dapat segera terealisasi.
Peran aktif Pemerintah Kabupaten/Kota serta komunikasi yang baik dengan KPPN-KPPN sebagai instansi vertikal Kementerian Keuangan di daerah, sangat dibutuhkan agar realisasi penyaluran Dana dapat sesuai jadwal, sehingga Gampong dapat segera merealisasikan program kegiatan yang sudah direncanakan.
Dalam rangka mempercepat penanganan pandemi COVID-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional pemerintah melaksanakan berbagai rangkaian kegiatan yang dikenal dengan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Program PEN dikelompokkan ke dalam 6 cluster yaitu Kesehatan, Perlindungan Sosial, Sektoral K/L dan Pemda, UMKM, Korporasi, dan Insentif Usaha.
Pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terkait kebijakan perpajakan di masa Pandemi COVID-19, sampai dengan 31 Agustus 2020 wajib pajak UMKM (PP 23) yang mengajukan permohonan insentif hanya 442 WP dengan nilai Rp 532 juta.
“Jika dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera, jumlah WP dan nilai yang diajukan dari Aceh (wilayah kerja Kanwil DJP Aceh), berada di urutan terbawah (paling kecil),” ungkap Safuadi.
Untuk insentif pajak keseluruhan (PPh Final, PPh 21, PPh 22 Impor, PPh 25 dan Pengembalian Pendahuluan PPN), sampai dengan 14 Oktober 2020, jumlah WP yang mengajukan permohonan insentif sebanyak 1215 WP dengan nilai Rp 22,2 M.
Pemberian insentif pajak dalam dunia usaha diharapkan agar para pelaku usaha khususnya para pelaku usaha kecil dan menengah tetap dapat menjalankan roda usahanya dengan diberikan insentif pajak ditanggung pemerintah.
Pelaku UKM hanya melaporkan jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan. Pemberian fasilitas kepabeanan juga diberikan dalam mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menstimulus perekonomian dalam negeri.
Pada Oktober 2020, Kanwil DJBC Aceh telah memberikan fasilitas Pengusaha Di Pusat Logistik Berikat (PDPLB) kepada PT Karya Tanah Subur dan Kawasan Berikat (KB) kepada PT Sinergy Peroksida Industri dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor.
“Selain itu, penerbitan NPPBKC kepada PR Gayo Mountain Cigar dan UD Kretek Gayo,” lanjutnya.
Kanwil DJBC Aceh juga mendorong penggunaan Dana Desa dan Sukuk Wakaf untuk pembiayaan para petani dan nelayan mitra dari perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat (KB) Hortikultura.
“Seperti pembiayaan yang akan dilakukan kepada petani pisang di Bener Meriah, mitra dari PT Great Giant Pineapple. Pola kemitraan ini adalah salah satu program bea cukai terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program Creating Shared Value (CSV),” rincinya.
Program PEN terus dievaluasi dan disesuaikan dengan kondisi agar semakin efektif. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, pemerintah melakukan reclustering anggaran PEN.
Alokasi anggaran untuk Cluster UMKM meningkat dari Rp123,46 triliun menjadi Rp128,21 triliun. Alokasi Cluster Kesehatan juga meningkat dari semula Rp87,55 triliun menjadi Rp87,93 triliun. Alokasi Cluster Perlindungan Sosial meningkat dari semula Rp203,9 triliun menjadi Rp239,53 triliun.
Sementara, Alokasi untuk Cluster Insentif Usaha tetap sebesar Rp120,61 triliun. Sedangkan alokasi cluster Sektoral K/L dan Pemda turun dari semula sebesar Rp106,11 triliun menjadi Rp70,10 triliun. Alokasi Cluster Korporasi juga trurun dari semula Rp53,6 triliun menjadi Rp48,85 triliun.
Kementerian Keuangan terus berupaya mendorong pemenuhan target penerimaan, percepatan pencairan belanja, dan percepatan penyalurannya untuk melindungi masyarakat dan mengakselerasi pemulihan perekonomian.
“Namun, upaya tersebut harus tetap memperhatikan aspek tata kelola keuangan yang baik atau good governance,” pungkas Kakanwil Ditjen Bea Cukai Aceh, Safuadi. (IA)