Bandar Susoh, Jejak Sejarah Rempah di Pesisir Barat Selatan Aceh
BANDA ACEH – Bandar Susoh menjadi salah satu jejak sejarah rempah di pesisir Barat Selatan Aceh (Barsela). Keberadaan Bandar Susoh yang sudah dikenal sejak abad ke-17 (1601-1700) itu, menjadi tempat singgah bangsa-bangsa Eropa.
“Negara seperti Arab, India, Eritrea dan bangsa pedagang atau penjajah lainnya dulu singgah di Bandar Susoh,” kata Arif Faisal Djamin dalam seminar kebudayaan Sejarah Jalur Rempah Aceh dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Auditorium Prof Ali Hasjmy UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin, 6 November 2023.
Ia menjelaskan, penyebutan Bandar Susoh dinukilkan dengan beberapa sebutan seperti Susu atau Susum dalam tulisan Portugis, Soesoe, Soeesoh, Sosoeh dalam tulisan Belanda, dan Soosoo dalam tulisan Inggris.
Secara garis besar, kata Arif, Barsela memiliki setidaknya lima bandar besar pada masa silam, yaitu Bandar Meulaboh, Bandar Susoh, Bandar Meukek, Bandar Trumon dan Bandar Singkil.
Di Bandar Susoh, tutur Arif, perdagangan antara Kerajaan Susoh dengan bangsa luar sudah terjalin dengan sangat baik.
Pada tahun 1787 Syahbandar Susoh yang bernama Leubee Dapa telah mengadakan perjanjian dengan Inggris, untuk menyediakan semua lada dan berkongsi dagang dengan Inggris.
“Hal ini diantisipasi oleh Inggris karena Amerika sudah menjajaki pantai barat Aceh. Pada tahun 1803 Bandar Susoh menghasilkan sekitar 5.000 ton lada, dan sebagian besar lada tersebut dikirim ke New England,” paparnya.
Arif menjelaskan, setelah perjanjian dengan Inggris dilaksanakan, Leube Dapa yang dibantu oleh Tuanku Raja Udahna Lela (menantu Leube Dapa sekaligus kakak dari ibu Sultan Jauhar Alam Syah) secara diam-diam juga bekerja sama dengan Amerika terkait perdagangan lada, hal ini dilakukan demi meraih keuntungan yang lebih besar.
Perkara ini diketahui oleh Inggris dan dilaporkan kepada Sultan Jauhar Alam Syah. Dalam catatan sejarah, disebutkan Leube Dapa melakukan perdagangan ilegal dengan Amerika dan menggelapkan pendapatan Kesultanan Aceh di Bandar Susoh.
Inggris kemudian memberikan bantuan untuk mengembalikan kerugian yang dialami oleh Kesultanan Aceh, sebagai imbalannya harus diadakan perjanjian perdagangan secara adil dengan kompeni (Inggris).