Bisnis Karbon Aceh Dikuasai Asing, PT PEMA Didesak Ambil Alih Pengelolaan Kawasan Leuser
Banda Aceh, Infoaceh.net – PT Pembangunan Aceh (PEMA) didesak untuk mengambil alih penuh pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seluas lebih dari 1,8 juta hektare.
Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Muhammad Nur, menilai saat ini pengelolaan kawasan strategis tersebut lebih banyak dikuasai oleh lembaga konservasi dan entitas asing melalui skema bisnis karbon yang dinilainya tidak transparan dan mengabaikan kedaulatan daerah.
“Leuser itu milik Aceh. Sesuai Pasal 150 UUPA, Pemerintah Aceh berwenang atas hutannya. Jangan hanya diberi jatah 100 ribu hektare dalam skema kerja sama. Ini bentuk pengerdilan peran Pemerintah Aceh dan penipuan publik atas nama karbon,” ujar Muhammad Nur, Rabu (21/5/2025).
Ia menyoroti proyek Result Based Payment (RBP) REDD+ yang mengalokasikan dana sebesar USD 1,7 juta untuk Provinsi Aceh.
Namun, dana tersebut tidak dikelola langsung oleh pemerintah daerah, melainkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di bawah Kementerian Keuangan.
“Dana itu harus melalui lembaga perantara (Lemtara) yang diakui BPDLH. Ada 28 Lemtara terdaftar, dan salah satunya yang berhasil mendapatkan akses dana adalah Yayasan PETAI,” ungkapnya.
Muhammad Nur mempertanyakan akuntabilitas distribusi dana ini dan menyayangkan minimnya akses langsung pemerintah daerah. “Kalau pemda tidak dilibatkan langsung, siapa yang menentukan arah pemanfaatannya? Masyarakat Aceh tidak boleh hanya jadi objek. Mereka berhak tahu dan menikmati manfaatnya,” tegasnya.
Ia mendorong Pemerintah Aceh untuk membangun arsitektur tata kelola hutan yang berdaulat dan melibatkan BUMD kabupaten sebagai pelaku utama dalam bisnis jasa lingkungan.
Menurutnya, lembaga konservasi tidak boleh memegang peran ganda dalam konservasi dan transaksi karbon karena rentan konflik kepentingan.
“Sudah saatnya semua kerja sama terkait Leuser diaudit. Kalau terbukti tidak berpihak pada rakyat Aceh, lebih baik dihentikan,” katanya.
Forbina, lanjutnya, tetap mendukung PEMA sebagai entitas bisnis daerah, namun mengingatkan agar tidak menjadi alat elit atau pihak asing.
“Kalau serius, PEMA jangan hanya kelola 100 ribu hektare. Ambil alih seluruh kawasan Leuser demi kesejahteraan rakyat,” tandasnya.
Muhammad Nur menyoroti besarnya anggaran konservasi yang tidak berdampak signifikan. Pada 2023, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) menerima dana APBN senilai Rp29 miliar, bantuan donor Rp89 miliar, serta Rp82,3 miliar dari BPJN Aceh untuk infrastruktur konservasi hingga 2032.
Totalnya mencapai Rp201,2 miliar. Namun konflik satwa, termasuk kematian gajah, masih terjadi.
“Akhiri monopoli konservasi atas nama hutan Aceh. Leuser milik rakyat, bukan segelintir elit karbon,” ujarnya.
Menanggapi kebijakan terbaru, Forbina juga mengapresiasi terbitnya Surat Edaran Nomor SE.4/MENHUT/SETJEN/KUM.02/05/2025 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menunda sementara pelaksanaan pasar karbon berbasis sektor kehutanan.
Muhammad Nur menilai langkah ini memberi ruang untuk evaluasi menyeluruh dan membuka peluang merancang ulang tata kelola karbon yang lebih adil, transparan, dan berpihak kepada daerah serta masyarakat lokal.