Banda Aceh – Ketergantungan pedagang pasar di Kota Banda Aceh terhadap rentenir hanya tersisa 2 persen saja.
Data ini terungkap dalam pertemuan Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman dengan sebuah lembaga survey independen, Yayasan Rumah Harta Umat yang bekerja sama dengan ASA Solution, Senin (18/01/2021) di Pendopo Wali Kota.
Dalam pertemuan ini, hadir Prof Dr Syahrizal Abbas, Dirut PT Mahirah Muamalah Syariah T Hanansyah, Komisaris Utama Mahirah yang juga mantan Sekda kota Ir Bahagia, Asisten I Faisal, Plt Asisten II T Samsuar, Kabag Humas Pemko Said Fauzan dan sejumlah Kepala SKPK jajaran Pemko Banda Aceh. Hadir juga Naimah Hasan dan Thantawi Ishak.
Dari hasil penelitian yang disampaikan Wardaturriqa S Stat, Konsultan Statistik dan Pengolahan Data ASA Solution, pihaknya telah melakukan survey di lima pasar besar di Banda Aceh dalam periode 20 November sampai dengan 20 Desember tahun 2020 lalu. Survey dilakukan di Pasar Ulee Kareng, Pasar Setui, Pasar Peunayong, Pasar Rukoh dan Pasar Gampong Ateuk.
“Para pedagang di lima pasar besar di Banda Aceh kita survey. Teknik pengumpulan datanya dengan cara observasi, kuesioner dan studi pustaka. Ada 237 responden dan hasilnya hanya 2 persen dari mereka yang berhubungan dengan rentenir,” ungkap sosok yang akrab disapa Ika ini.
Lanjut Ika, hasil ini terjadi penurunan dibandingkan survey yang dilakukan pada 2019 lalu, dimana saat itu ketergantungan pedagang terhadap tengkulak masih di angka 6 persen.
“Dari hasil survey ini kita bisa melihat seberapa besar praktik rentenir menguasai atau membiayai pedagang pasar. Dan angkanya kecil sekali. Ini tidak terlepas dari hadirnya Mahirah Muamalah Syariah (MMS),” sebut Ika.
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman gembira dengan hasil survey ini. Katanya hasil penelitian tersebut menjadi penting dalam rangka mengambil kebijakan-kebijakan ke depan.
“Angkanya kita lihat terus menurun dari tahun ke tahun. Meski kecil sekali, tapi praktek riba itu masih ada. Karenanya hasil ini penting bagi kita untuk tahap penyusunan qanun memberantas rentenir,” terang Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Provinsi Aceh ini.
Aminullah juga meminta agar pihak lembaga survey juga melakukan penelitian lebih luas lagi, bukan hanya pedagang pasar saja tapi juga ke gampong-gampong.
“Mungkin bisa di survey ke gampong-gampong. Bisa diambil satu kecamatan satu gampong agar kita bisa mendapatkan gambaran lebih baik soal rentenir ini,” pinta mantan Dirut Bank Aceh ini.
Lanjut Aminullah, setelah ‘terusir’ dari pasar-pasar di Kota Banda Aceh, para rentenir sudah mulai bergeser ke gampong-gampong dan kabupaten tetangga dengan berkedok koperasi. Karenanya perlu juga dilakukan survey.
Dalam kesempatan ini, ia juga menceritakan sekilas terkait Lembaga Mahirah Muamalah yang ia dirikan.
“Ketika kita melarang rentenir, kita punya solusi memberikan modal usaha dengan sistem syariah kepada masyarakat kota. Sejak Mahirah berdiri, eksistensi rentenir terus terancam. Mahirah ini bentuk solusi yang kita berikan untuk masyarakat kota,” lanjut Aminullah.
Selain mendengar pemaparan hasil survey, dalam pertemuan ini juga dilakukan diskusi kecil soal perlunya melahirkan sebuah produk hukum melarang rentenir beroperasi di Banda Aceh.
Ada masukan-masukan dari Prof Syahrizal Abbas, Komisaris Utama MMS Ir Bahagia dan Thantawi Ishak terkait proses penyusunan qanun.
Dalam pertemuan ini disepakati, perlu adanya qanun agar memiliki kekuatan hukum melarang operasional praktek ribawi di ‘Kota Gemilang’.
“Saya pikir qanun, jangan sebatas Perwal karena biar ada kekuatan hukum dan ada sanksi bagi pelaku,” tegas Aminullah yang juga sependapat dengan Prof Syahrizal Abas.
Wali Kota kemudian mengatakan akan segera membentuk tim untuk penyusunan qanun tersebut. Hasil survey dari ASA Solution juga akan digunakan sebagai naskah akademik.
“Semua ini kita lakukan, selain menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat juga menindaklanjuti amanah Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah dimana semua lembaga jasa keuangan di Aceh harus sesuai hukum Islam,” pungkas wali kota. (IA)