Kementerian ESDM Dinilai Lucuti UUPA dan Ingin Pangkas Kewenangan Aceh

Surat Kementerian ESDM kepada Gubernur Aceh Nomor T- 125/MB.05/SJN.H/2023 Tanggal 19 Januari 2023 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Pemerintah Daerah Aceh, berpotensi mengeliminir status Otonomi Khusus dan melucuti kewenangan Aceh, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA

BANDA ACEH — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI mengeluarkan surat Nomor: T125/MB.05/SJN.H/2023, tanggal 19 Januari 2023 Perihal Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Pemerintah Daerah Aceh.

Surat itu merujuk kepada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020, yang meminta agar melakukan peninjauan atas ketentuan pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya kewenangan penerbitan perizinan pertambangan komoditas Mineral Logam dan Batubara.

Dengan surat itu, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM berpotensi mengeliminir status otonomi khusus dan meliputi kewenangan Aceh, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA sebagai produk hukum dari kesepakatan damai Aceh.

Surat yang dikirimkan kepada Gubernur Aceh itu ditandatangani oleh Sekjen Kementerian ESDM RI Rida Mulyana itu berisi sejumlah poin.

Tembusan surat juga dikirimkan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal serta Dirjen Otonomi Daerah dan lainnya di Jakarta.

Pada awal isi surat, Kementerian ESDM menyebut ketentuan Pasal 173A, UU No: 3/2020 tentang perubahan atas UU No: 4 Tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batu bara.

“Pada prinsipnya kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara dilakukan berdasarkan ketentuan UU No: 11/2006 tentang Pemerintah Aceh,” tulis surat tersebut.

Namun, pada poin 2b disebutkan; pelaksanaan kewenangan pengelolaan mineral dan batu bara, Pemerintah Aceh harus memperhatikan, Norma, Standar, Prosedur dan Kreteria (NSPK) yang ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kedua, pelaksanaan pengawasan oleh Inspektur Tambang dan pejabat pengawas dari pemerintah pusat yang akan ditempatkan di Provinsi Aceh.

Ketiga, izin pertambangan yang terkait penanaman modal asing menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat.

Pada poin lima juga ditegaskan. Untuk memberi kepastian hukum atas pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara. Kementerian ESDM meminta agar Pemerintah Aceh dapat melakukan peninjauan atas ketentuan pelaksanaan UU Nomor 11/2006, sehingga dapat memenuhi NSPK.

“Sesuai ketentuan UU dibidang pertambangan mineral dan batu bara serta UU Cipta Kerja terkait pelaksanaan perizinan berusaha,” tulis surat itu.

Selanjutnya, peninjauan atas ketentuan pelaksanaan UU No:11/2006 tentang Pemerintah Aceh, khususnya kewenangan penerbitan perizinan pertambangan komoditas Mineral Logam dan Batu Bara dapat dikonsultasikan bersama dengan Kementerian Dalam Negeri dan ESDM serta Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Terkait surat tersebut, Pemerhati Aceh Sri Radjasa Chandra MBA, juga ikut memberikan tanggapannya.

Menurutnya, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan, hanya dapat diterapkan di provinsi lain dan bukan di Aceh, karena Aceh sudah memiliki regulasi pengelolaan tambang yang dituangkan dalam UUPA.

Kebijakan Menteri ESDM yang merujuk pada UU Nomor 3 Tahun 2020, akan memangkas kewenangan Aceh dalam mengelola tambang. Hal ini tentunya kontraproduktif dengan pemberian status otonomi khusus kepada Aceh

Implementasi UUPA di sektor pengelolaan tambang oleh Pemerintah Aceh selama ini dunilai berjalan baik-baik saja, jika kemudian Menteri ESDM mendesak untuk ditinjau kembali UUPA, hanya karena perlunya proses lelang, nampaknya sangat tidak bijak, karena menimbulkan pertanyaan apakah mekanisme lelang telah memberi rasa keadilan?

“Surat Kementerian ESDM itu patut diduga bagian dari grand skenario
dalam rangka penguasaan pengelolaan tambang oleh oligarki. Kecurigaan tersebut bukan tanpa alasan, mari kita jujur untuk mencermati kinerja Kementerian ESDM, apakah investasi
pertambangan di seluruh wilayah Indonesia telah mengangkat harkat hidup rakyat? Jawabannya di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah, tapi masyarakatnya tetap miskin,” ungkap Sri Radjasa Chandra, pada Ahad (12/2/2023).

Untuk itu, pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) diharapkan dapat segera mengambil langkah responsive untuk menolak campur tangan Kementerian ESDM dan tetap berpedoman kepada UUPA dalam pengelolaan pertambangan di Aceh.

Hal itu dikarenakan konflik Aceh di masa lalu, dipicu oleh pengelolaan sumber daya alam Aceh, sehingga persoalan pengelolaan tambang di Aceh menjadi isu sensitif yang dapat mengganggu kelangsungan damai Aceh.

“Mencermati sikap arogansi Kementerian ESDM itu, tentunya patut menjadi catatan Bapak Presiden RI, agar kebijakan jajaran kementerian tidak kontradiktif dengan upaya menjaga stabilitas nasional, terlebih lagi kita sedang memasuki tahun politik yang penuh oleh dinamika kerawanan potensi konflik.

Oleh karenanya Presiden dapat segera mengambil langkah preventif untuk membatalkan surat Kementerian ESDM yang secara eksplisit telah melecehkan UUPA dan dapat menciptakan dikotomi pusat-daerah yang tidak sehat bagi kelangsungan damai Aceh,” pungkasnya. (IA)

Tutup