Layanan Buruk BSI Dinilai Jadi Sumber Masalah Ekonomi Aceh
“Aplikasi mobile banking BSI kembali bermasalah. Ini bukan kali pertama. Sebelumnya, masyarakat Aceh juga sudah mengalami kejadian serupa. Bayangkan pedagang yang ingin membeli barang, atau pengusaha yang harus membayar gaji karyawan, tapi semua tertahan karena sistem bank bermasalah. BSI ini bukan hanya membuat ketidaknyamanan, ini juga bencana bagi ekonomi Aceh,” tegasnya.
Selain masalah pelayanan, Fauzan menilai bahwa kebijakan penghapusan bank konvensional di Aceh adalah keputusan gegabah yang merusak ekonomi daerah.
Dengan tidak adanya persaingan perbankan yang sehat, masyarakat dipaksa menggunakan satu bank dengan pelayanan yang justru tidak profesional.
“Dulu masyarakat bisa memilih layanan perbankan sesuai kebutuhan mereka. Sekarang dipaksa hanya menggunakan BSI yang pelayanannya buruk. Apa hasilnya? Ekonomi Aceh semakin merosot, kemiskinan tinggi, dan rakyat kesulitan mengembangkan usaha mereka,” katanya.
Ia juga menduga bahwa ada kepentingan tertentu di balik kebijakan ini. Menurutnya, kebijakan ini lebih menguntungkan segelintir elite daripada memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Aceh.
“Kita menduga ada pihak tertentu yang bermain di balik kebijakan ini. Pejabat-pejabat Aceh terlalu gegabah dalam mengambil keputusan tanpa memikirkan dampak bagi rakyat. Ini bukan keputusan yang membangun, tetapi keputusan yang merusak,” tegasnya.
Akibat dari kebijakan ini, beberapa bank besar yang sebelumnya hadir di Aceh, seperti BRI, BNI, Mandiri, CIMB Niaga, hingga Panin, diusir dari Aceh.
Bahkan bank-bank syariah lain yang lebih dulu eksis di Aceh, seperti BRI Syariah, BNI Syariah, dan Mandiri Syariah, juga dipaksa tutup dan digabungkan ke dalam BSI.
“Ini kebijakan yang sangat tidak masuk akal. Bank-bank syariah yang sudah ada justru ditutup dan digantikan dengan satu bank tunggal. Dampaknya, ekonomi Aceh semakin terpuruk. Ketika ekonomi terhambat, rakyat jatuh miskin, kriminalitas meningkat, anak-anak Aceh jadi korban eksploitasi, dan banyak yang terjerumus ke dalam praktik-praktik ilegal hanya demi bertahan hidup. Lalu siapa yang mau bertanggung jawab?” tegasnya.