Infoacehnet

Portal Berita dan Informasi Aceh

Pengelolaan Pertambangan di Aceh Belum Berpihak ke Rakyat

Infoaceh.net, TAPAKTUAN — Pengelolaan pertambangan di Aceh selama ini dinilai belum berpihak kepada rakyat.

Seharusnya Aceh dengan kekhususannya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah bersifat nasional di Aceh, maka dapat mengatur secara kongkrit terkait izin pertambangan rakyat (IPR) sebagai keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam mengelola sumber daya mineral dan batu bara di Aceh.

“Untuk pengelolaan bahan tambang mineral dan batubara yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun 2020 itu sudah lebih dulu diatur secara khusus dalam pasal 156 ayat (3) UUPA, yang berbunyi, bahwa sumber daya alam, yang meliputi bidang pertambangan, yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan. Namun pemerintah Aceh melalui Qanun nomor 15 tahun 2017 junto Qanun 15 tahun 2013 tentang Pengelolaan pertambangan dan batu bara belum dapat memaksimalkan kewenangan khusus yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh tersebut,” ungkap Ketua DPC Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni, Jum’at, 4 April 2025.

Sebenarnya, kata Delky, Pemerintah pusat sudah memberikan peluang kepada daerah khusus seperti Aceh dalam pelaksanaan UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pada pasal 173 A sebagaimana disebutkan bahwa ketentuan dalam UU Nomor 3 tahun 2020.

Berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan daerah tersebut.

“Bukti nyata pengelolaan pertambangan di Aceh belum berpihak kepada kepentingan rakyat yakni sampai detik ini belum adanya satu wilayah pertambangan rakyat (WPR) pun ditetapkan di Aceh, sehingga menunjukkan qanun pertambangan Aceh sebelumnya belum mengakomodir secara maksimal terkait pertambangan rakyat dan masih lemahnya pengaturan pemerintah dalam hal pengelolaan pertambangan rakyat,” ujarnya.

Menurut Delky, belum adanya penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) membuktikan Pemerintah Aceh selama ini belum memaksimalkan kekhususan Aceh dalam melibatkan partisipasi masyarakat di sektor pertambangan.

“Jika wilayah pertambangan rakyat (WPR) belum ditetapkan, maka keinginan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem yang selama ini diucapkan terkait pemberian izin pertambangan rakyat (IPR) akan sulit diwujudkan,” katanya.

Dia menguraikan, tidak Adanya Penetapan WPR di Aceh selama ini dikarenakan lima hal.

Pertama, kurangnya data dan informasi tentang potensi mineral di Aceh dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR, sehingga Gubernur Aceh seyogyanya mengevaluasi kinerja Dinas ESDM Aceh agar ke depan bisa lebih maksimal.

Kedua, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, seperti antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR.

Ketiga, masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya WPR dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR, sehingga Dinas ESDM Aceh semestinya dapat menyosialisasikan serta memfasilitasi pertambangan rakyat yang legal, ekonomis dan ramah lingkungan

Keempat, kurangnya sumber daya, seperti dana dan tenaga ahli di instansi terkait, dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR

Kelima, kurangnya peraturan yang jelas tentang WPR di Aceh dapat menyebabkan kesulitan dalam menetapkan WPR.

Untuk itu, Pemerintah Aceh dengan kekhususannya seharusnya melakukan revisi/perubahan qanun nomor 15 tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Aceh, kemudian menambahkan pasal yang mengatur secara khusus terkait izin pertambangan rakyat

Keenam, konflik kepentingan yang menyebabkan Pemerintah kesulitan dan ragu-ragu dalam menetapkan WPR, sehingga kebijakan yang dilakukan pemerintah kerap menguntungkan korporasi tambang, namun mengabaikan partisipasi masyarakat.

Tak heran jika di beberapa daerah seperti di Aceh Selatan terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang, karena dinilai selama ini masyarakat hanya diibaratkan ‘buya lam krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki’ (masyarakat hanya sebagai penonton, korporasi tambang yang menikmati hasil SDA).

Kata Delky, tidak adanya penetapan WPR selama ini menyebabkan kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan pertambangan yang tidak terkendali, yang selama ini sering disebut pertambangan ilegal atau PETI.

Kemudian tidak adanya penetapan WPR dan pemberian IPR dapat menyebabkan kehilangan pendapatan bagi masyarakat dan pemerintah akibat kegiatan pertambangan yang tidak terkendali sehingga tidak adanya pendapatan asli daerah (PAD), biasanya yang diuntungkan dalam hal ini hanya oknum-oknum sementara daerah dirugikan.

Selanjutnya, tidak adanya penetapan WPR dapat menyebabkan konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan tambang akibat kegiatan pertambangan yang tidak terkendali, karena kerap terjadi perusahaan tambang mencaplok lahan yang biasa digunakan masyarakat untuk aktivitas pertambangan yang berujung kepada konflik sosial.

“Melihat kondisi itu, diperlukan langkah kongkrit Pemerintah Aceh untuk sesegera mungkin membahas kembali/merevisi dan mengesahkan regulasi pengelolaan pertambangan yang mengakomodir secara kongkrit terkait pertambangan rakyat di dalamnya, sehingga ke depan Pemerintah Aceh dapat menetapkan wilayah-wilayah pertambangan rakyat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh dapat memberikan izin pertambangan rakyat (IPR) pada wilayah yang telah ditetapkan tersebut,” tambahnya.

Selain itu, lanjut Delky, diharapkan ke depan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota di Aceh dapat memfasilitasi legalitas pertambangan rakyat, melakukan fasilitasi dan edukasi penggunaan teknologi yang ekonomis, ramah kesehatan dan lingkungan kepada penambang rakyat, serta memberikan berbagai solusi terkait Pengelolaan tambang rakyat.

Dia menyebutkan, dengan ditetapkannya WPR dan diberikannya Izin Pertambangan Rakyat (IPR) oleh Pemerintah diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi, mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan serta menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Harapan kita semoga apa yang diinginkan dan dijanjikan pemerintahan Mualem-Dek Fad terkait pertambangan rakyat dapat terealisasi sehingga di hati masyarakat kekhususan Aceh dalam pengelolaan SDA sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan UUPA bukanlah sebatas angan-angan belaka,” pungkasnya.

Lainnya

Penyuluh Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Darul Imarah, Tgk Cut Azwar
Manajemen Bank Aceh Syariah menegaskan operasional dan roda kepemimpinan di lingkungan perseroan ini berjalan normal dan solid
Pemerintah Aceh menginstruksikan penundaan tahapan Pemilihan Keuchik Langsung (Pilchiksung) yang masa jabatannya berakhir Februari 2024 hingga Desember 2025. (Foto: For Infoaceh.net)
Plt Sekda Aceh, M Nasir Syamaun bersama Kakanwil Kemenag Aceh Azhari menguji konsumsi jamaah haji dalam penerbangan pergi dan kembali ke tanah air, di Asrama Haji Embarkasi Aceh, Selasa (22/4/2025). (Foto: For Infoaceh.net)

Begal Proyek APBA

Umum
Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menyampaikan sambutan pada rapat paripurna istimewa peringatan HUT ke-820 Kota Banda Aceh di Gedung DPRK Banda Aceh, Selasa (22/4). (Foto: Humas Pemko Banda Aceh)
Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Aceh kembali mencatat pencapaian positif dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publikFoto: For Infoaceh.net)
Regional CEO BSI Aceh Wachjono
Anggaran kebutuhan Rumah Tangga Gubernur/Wakil Gubernur Aceh pada Biro Umum Kantor Gubernur Aceh mendapat sorotan karena jumlahnya yang fantastis. (Foto: For Infoaceh.net)
Rapat paripurna istimewa dalam rangka HUT ke-820 Kota Banda Aceh, di Gedung Utama DPRK Banda Aceh, Selasa (22/4/2025). (Foto: Dok. DPRK Banda Aceh)
Komisi I DPRK Banda Aceh melakukan kunjungan dan rapat dengan sejumlah mitra kerja komisi, Senin (21/4/2025). (Foto: Dok. DPRK Banda Aceh)
Plt Sekda Aceh M Nasir Syamaun membuka Rakor Penyusunan Program Kegiatan Pembinaan dan Pengawasan Qanun Syariat Islam dan Penerapan Ingub Nomor 1 Tahun 2025 dengan Kasatpol PP-WH Kabupaten/Kota di lantai III di Gedung Rapat Satpol PP-WH Aceh, Senin (21/4)
Kepala Kejaksaan Negeri Sabang Milono Raharjo SH MH
Pengukuhan lima Guru Besar USK pada sidang terbuka akademik Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Selasa (22/4/2025). (Foto: For Infoaceh.net)
Plt Sekda Aceh M. Nasir Syamaun melantik Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Aceh Tahun 2025, di Asrama Haji Embarkasi Aceh, Selasa (22/4/2025). (Foto: For Infoaceh.net)
Satreskrim Polresta Banda Aceh menyerahkan 6 tersangka kasus penganiayaan yang berujung tewasnya seorang warga di Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh ke jaksa, Senin (21/4/2025). (Foto: Dok. Polresta Banda Aceh)
Ketua KIP Banda Aceh Yusri Razali mengembalikan sisa dana hibah Pilkada 2024 kepada Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal di pendopo, Senin (21/4). (Foto: Humas Pemko Banda Aceh)
Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah saat mendengar langsung keluh kesah mahasiswa Aceh di Malang, Jawa Timur, Senin, 21 April 2025. (Foto: Humas BPPA)
Ketua DPW PAN Aceh Ir Mawardi Ali bersama ppengurus sedang mengikuti halal bi halal di Rumoh PAN Aceh, Lueng Bata, Banda Aceh, Ahad (20/4/2025). (FOTO: DPW PAN ACEH)
Ketua Umum IMKM dan Ketua Pelaksana Harian terpilih IMKB IMKB Banda Aceh 2025-2028 Amiruddin Cut Hasan dan Fakhrurrazi Yusuf di Sekretariat IMKB, Gampong Tibang, Banda Aceh. (Foto: Humas IMKB)
Tutup