Prabowo Masuk BRICS, Indonesia Siap Tinggalkan Bayang-Bayang Amerika
Jakarta, Infoaceh.net – Diplomasi Indonesia kini memasuki fase agresif. Melalui pendekatan aktif di forum BRICS+ dan negara-negara Global South, Indonesia mulai memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang antara blok Barat dan Timur.
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS, 6–7 Juli 2025, menjadi simbol penting kebangkitan politik luar negeri Indonesia yang semakin percaya diri di tengah kerapuhan geopolitik dunia.
Forum BRICS kali ini mengusung tema “Strengthening Global South Cooperation Towards More Inclusive and Sustainable Governance”, dan dihadiri lebih dari 30 kepala negara serta pemimpin organisasi internasional.
Meskipun belum memiliki aliansi militer seperti NATO, kekuatan ekonomi BRICS+ kini menjadi ancaman nyata bagi dominasi G7.
Dalam dunia yang semakin multipolar, kekuatan-kekuatan seperti Tiongkok, India, Brasil, Turki, Iran, dan ASEAN mulai mendikte arah global. Di saat lembaga internasional seperti IMF, WTO, dan PBB kehilangan wibawa karena konflik antar-blok, BRICS justru menawarkan platform alternatif yang lebih inklusif.
Konflik dagang antara AS dan Tiongkok, larangan ekspor chip, pemisahan teknologi AI, hingga proteksionisme ‘friend-shoring’ menandai era deglobalisasi parsial. Indonesia punya celah emas dalam kekacauan ini: mengembangkan industri hijau sebagai kunci pertumbuhan baru.
Krisis iklim dan krisis energi kini saling bersinggungan. Dunia butuh solusi, dan Indonesia berada di titik strategis. Mulai dari hilirisasi tambang nikel, pabrik baterai EV, hingga ekspor berbasis energi bersih, semua bisa menjadi lokomotif ekonomi untuk keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen.
Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, mengingatkan agar pemerintah tak membiarkan industri stagnan di pertumbuhan 3–4 persen. “Dengan kebijakan dan orang yang sama, hasilnya stagnan. Sektor industri harus tumbuh tinggi jika ingin ekonomi naik ke 6 atau 7 persen,” tegasnya.
Langkah Indonesia di BRICS bukan sekadar citra politik. Program strategis seperti pangan dan energi berkelanjutan kini diprioritaskan langsung oleh Presiden Prabowo.
Subsidi harga gabah yang tinggi mendorong petani meningkatkan produksi. Jika diperkuat dengan efisiensi tata niaga dan produktivitas on-farm, swasembada bisa menjadi kenyataan.
Di sektor energi, arah transisi jelas: memperkuat ketahanan nasional sambil tetap membuka diri terhadap investasi hijau dan teknologi terbarukan dari negara-negara mitra non-Barat.
Indonesia tetap setia dengan prinsip Politik Bebas Aktif, tak memihak blok mana pun. Posisi netral ini menjadikan Indonesia layak menyandang julukan baru: “Switzerland-nya Asia”.
Negara yang dipercaya semua pihak, disegani karena posisi strategis, dan jadi penghubung ekonomi serta diplomasi di kawasan Asia-Pasifik.
Kehadiran Presiden Prabowo dalam KTT BRICS punya makna strategis. Ini bukan sekadar pertemuan diplomatik, tapi langkah pembuka untuk mendiversifikasi mitra dagang, membangun kolaborasi teknologi, dan mendapatkan akses pendanaan non-konvensional di luar skema IMF dan World Bank.
Dengan keterlibatan aktif ini, Indonesia sedang menyiapkan diri sebagai kutub baru dalam tatanan dunia yang berubah. Dunia tidak lagi hanya soal Washington dan Beijing. Kini ada Jakarta—yang siap mengambil posisi sebagai kekuatan penyeimbang global.
- BRICS 2025
- BRICS Indonesia 2025
- deglobalisasi ekonomi dunia
- diplomasi Global South
- diplomasi Indonesia
- ekonomi Global South
- geopolitik global
- Indonesia bebas aktif
- Indonesia penyeimbang global
- industri hijau
- industri hijau Indonesia
- kekuatan multipolar
- nikel Indonesia
- peluang ekonomi BRICS
- perang dagang
- politik luar negeri Indonesia
- Prabowo di KTT BRICS
- Prabowo Subianto
- strategi bebas aktif
- transisi energi