Sudah 22 Tahun, Warga Sabang Belum Rasakan Manfaat kehadiran BPKS
SABANG — Masyarakat Sabang sejauh ini belum merasakan manfaat dari kehadiran Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) yang telah dibentuk sejak tahun 2000 silam.
Warga Sabang bahkan mempertanyakan kendala yang dialami badan tersebut sehingga pelabuhan bebas (free port) Sabang tak kunjung terlaksana sesuai harapan.
“Saat ini sudah 22 tahun, tetapi apa yang telah diberikan (BPKS) untuk Sabang? Kalau tidak ada manfaat, baiknya ditutup saja dan BPKS itu gajinya cukup besar, jadi ini perlu dipertimbangkan,” ujar perwakilan Yayasan Peduli Sabang, Irawan, dalam rapat Sosialisasi Revisi Draf Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berlangsung di Sabang pada awal pekan ini.
Irawan berharap Pemerintah Aceh tidak henti-hentinya mendorong Pemerintah Pusat untuk merealisasikan janji pelabuhan bebas Sabang, seperti yang telah ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada masa lalu.
“Jadi dalam setiap pergantian Presiden harus kita ajukan permohonan lagi karena dulu (pelabuhan bebas) Sabang ini sangat aktif dan sekarang tutup,” kata Irawan lagi.
Dia berharap BPKS mampu memaksimalkan dermaga yang telah dibangun untuk mendukung kegiatan ekspor impor di Sabang.
Selama ini, dermaga yang dibangun dengan dana tidak sedikit tersebut justru terkesan hanya dimanfaatkan untuk menyambut kedatangan kapal pesiar saja. Padahal, menurut Irawan, Aceh dapat mencoba membangkitkan ekonomi kawasan dengan membangun Segitiga emas Saphula (Sabang-Phuket-Langkawi) yang menjadi penghubung jalur pelayaran ekonomi antara Phuket-Langkawi-Sabang.
“Jika kita bangun itu saja sudah cukup menjadi masukan bagi kita, tetapi tidak ada dukungan dalam hal ini,” tegas Irawan.
Di sisi lain, Irawan menyarankan Pemerintah Aceh terus berupaya memaksimalkan potensi kelautan yang ada di 200 mil laut, seperti kesepakatan dalam MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 silam.
Dia bahkan menyarankan Pemerintah Aceh tidak memaksa agar pusat memberikan kewenangan bagi Aceh untuk mengelola sumber daya alam di atas 200 mil laut, meski hingga saat ini Jakarta baru mengakomodir pengelolaan SDA oleh daerah Serambi Mekkah hanya sebatas 12 mil laut saja.