BANDA ACEH — Pengelolaan wakaf di Aceh hari ini masih dilakukan secara terpisah oleh tiga lembaga, yaitu Baitul Mal Aceh (BMA), Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Aceh dan Kementerian Agama (Kemenag) Aceh.
Ketiga lembaga pengelola wakaf tersebut masing-masing berjalan sesuai dengan regulasi yang berbeda.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Aceh terkait optimalisasi pengelolaan wakaf bersama para stakeholder (pemangku kepentingan) di Hotel Permata Hati Blang Oi, Banda Aceh, Selasa (12/10).
FGD untuk menjaring pendapat para stakeholder dari Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU), Bank Indonesia (BI), Baitul Mal Aceh (BMA), Badan Wakaf Indonesia (BWI), Kemenag, OJK, ACT, Rumah Zakat, Badan Pertanahan Nasional, Bappeda Aceh, DDII, Ikadi, Dewan Syariah Aceh, MES Aceh, sejumlah perwakilan IAEI seluruh Aceh, 13 BWI Kabupaten/Kota, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Mahkamah Syar’iyah Aceh, FEBI UIN Ar-Raniry, FEB USK dan juga dihadirkan satu-satunya nazhir di Aceh yang bersertifikasi Yayasan Haroen Aly Aceh.
Acara FGD ini dilakukan dengan blended system di mana sebagian peserta (32 orang perwakilan tamu) mengikutinya secara langsung di Permata Hati, dan via online diikuti 130 peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Dalam kata sambutan mewakili IAEI Aceh yang disampaikan Sekretaris IAIE Aceh Prof Dr M Shabri Abd Majid MEc, FGD kali ini berupaya menemukan solusi atas pengelolaan wakaf di Aceh hari ini yang masih dilakukan secara terpisah oleh tiga lembaga, yaitu Baitulmal Aceh (BMA), BWI Perwakilan Aceh, dan Kemenag Aceh yang masing-masing berjalan sesuai dengan regulasi yang berbeda.
Shabri menambahkan, potensi wakaf yang besar di Aceh, jika mampu dioptimalkan pemanfatannya, maka akan berkontribusi besar terhadap penguatan ekonomi umat.
Ibarat dunia sepak bola, perlu adanya kapten yang akan memimpin anggotanya demi mencapai tujuan.
Dimoderatori Dr Israk Ahmadsyah MEc MSc, Dosen FEBI UIN Ar-Raniry, FGD ini menghadirkan narasumber utama yaitu Hendri Tanjung PhD (BWI Pusat), Bapak Tarmizi Tohor (Direktur Pemberdayaan Zakat & Wakaf Kemenag Pusat), Prof Dr Nazaruddin A Wahid MA (Kepala Badan Baitul Mal Aceh) dan Ir Arief Rohman Yulianto MM (Pusat Kajian dan Transformasi Digital Badan Wakaf Indonesia, Jakarta).
Berbagai masukan dari narasumber dan para peserta, telah melahirkan beberapa rekomendasi di antaranya:
Pertama, perlu ada sinergitas bagi ketiga lembaga pengelola wakaf di Aceh demi mengefektifkan manajemen pengelolaan wakaf agar manfaat wakaf bisa dirasakan secara optmal.
Kedua, direkomendasikan agar tiga lembaga pengelolaan wakaf di Aceh, BMA, BWI dan Kemenag Aceh untuk segera duduk bersama memperjelaskan tugas dan peran masing-masing, sehingga tidak melemahkan upaya optimalisasi pengelolaan wakaf karena tumpah tindih klaim dan peran.
Ketiga, perlu adanya leading player, dalam hal ini Baitul Mal Aceh, yang diharapkan memainkan peran utama dalam pengembangan wakaf di Aceh sesuai dengan amanah Qanun Nomor 10 tahun 2018.
Keempat, perlu adanya penguatan, bekerja sama dengan BMA, BWI Aceh dan lembaga terkait lainnya untuk melahirkan nazir yang memiliki kompetensi dan tersertifikasi sehingga mampu mengelola wakaf di Aceh yang saat ini masih berstatus idle (tidak termanfaatkan).
Kelima, perlunya peningkatan upaya melakukan edukasi wakaf, peningkatan literasi wakaf termasuk pengelolaan wakaf secara digital demi mengoptimalkan kemaslahatan umat di Aceh.
Keenam, perlu dukungan Pemerintah Aceh secara kontinyu dalam membantu upaya-upaya pemaksimalan pengelolaan harta wakaf dengan mengatur regulasi/qanun/pergub yang memberikan dukungan positif bagi para pengelolanya.
Ketujuh, jika diperlukan, mengubah BWI Aceh berubah menjadi BWA (Badan Wakaf Aceh) atau Badan Kenaziran Aceh.
Hal ini disebabkan karena BWI saat ini mempunyai Tupoksi yang besar namun memiliki anggaran yang terbatas, manakala BMA memiliki dana infaq yang besar yang bisa disinergikan dalam pengoptimalan pengelolaan wakaf.
Menurut ketua panitia FGD, Jalaluddin ST MA, FGD ini terselenggara karena adanya dukungan dari berbagai stakeholder, khususnya BMA, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh. (IA)