Infoaceh.net, Aceh Besar – Warga Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar yang menjadi korban dugaan praktik mafia tanah melapor ke Polda Aceh melalui SPKT Polda Aceh, pada Jum’at, 31 Mai 2024.
Laporan tersebut setelah tim Lawfirm Yulfan & Rekan menerima laporan dari warga yang menjadi korban dugaan praktik mafia tanah beberapa waktu lalu.
“Secara resmi kami mewakili korban telah melaporkan beberapa orang dan oknum yang diduga sebagai mafia tanah di Lhoknga ke Polda Aceh. Laporan kami diterima oleh SPKT Polda Aceh, dan kami telah mendampingi korban memberikan keterangan,” ujar Yulfan, kuasa hukum dari para korban praktik mafia tanah, dalam keterangannya, Sabtu (1/6/2024).
Yulfan mengungkapkan, saat ini sudah ada dua orang korban yang melapor kepadanya terkait permasalahan tersebut.
Masyarakat yang melapor yakni Siti Aminah (64) dan Budi Mulia (40). Keduanya merupakan warga Desa Lampaya Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar.
Dari keterangan yang disampaikan oleh para korban sejauh ini, dari tiga orang terlapor, diduga salah satunya adalah oknum aparat penegak hukum berinisial A. Berdasarkan pengakuan korban, modus yang dilakukan terlapor A dalam melancarkan aksinya, dengan menggunakan skema pemberian modal dan kerja sama usaha dengan terlapor S yang juga merupakan keluarga korban.
Setelah modal diterima dan usaha dijalankan, terlapor A secara sepihak mengubah hubungan modal usaha menjadi perikatan utang pada terlapor S selaku penerima modal dan segera harus dikembalikan.
Selanjutnya, terlapor A mengancam dan menganiaya terlapor S yang gagal mengembalikan modal usaha sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan. Oleh terlapor A, terlapor S, dengan di bawah ancaman, diminta untuk menyerahkan sertifikat tanah kepunyaan keluarganya kepada terlapor A, dengan dalih untuk dijaminkan ke bank guna mendapatkan pinjaman sebagai modal usaha baru dan sebagai bentuk pelunasan hutang terlapor S kepada terlapor A.
Siti Aminah yang merupakan keluarga terlapor S akhirnya menyerahkan sertifikat hak milik tanah mereka kepada terlapor A untuk dijaminkan ke bank, karena setelah terlapor S dan terlapor A dengan menggunakan seragam lengkap dan senjata laras panjang mendatangi rumah Siti Aminah.
Di sisi lain, Aminah merasa kasihan dan iba kepada terlapor S disebabkan perlakuan oknum A kepada terlapor S. Alih-alih datang ke bank, terlapor A melalui terlapor S, justru mengarahkan korban ke notaris yang sudah dipersiapkan terlapor A untuk melakukan penandatanganan akta jual beli.
Di sisi lain, terlapor A juga sudah mempersiapkan calon pembeli berinisial RF, terlapor RF untuk diketahui adalah pihak yang diatur oleh A sebagai pihak pembeli, hal ini dibuktikan dengan terbitnya Akta Jual Beli Nomor 16/2026, tertanggal 11 Maret 2016 yang dibuat di PPAT dengan inisial HA, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Daerah Kerja Kabupaten Aceh Besar.
Korban mengungkapkan, ketika mereka sampai di notaris, pihak dari notaris tidak pernah membacakan dan menjelaskan maksud dari dokumen yang harus mereka tandatangani.
“Kami diajak ke notaris oleh Terlapor untuk membuat surat kuasa agunan sertifikat kami ke bank, dengan tujuan untuk modal usaha Terlapor S dan Terlapor A,” sebut Siti Aminah.
Setelah beberapa waktu berlalu, akhirnya terungkap bahwa dokumen yang diteken oleh korban ternyata merupakan dokumen akta jual beli yang isinya peralihan kepemilikan tanah dari korban Siti Aminah kepada RF.
“Ketika kami sampai di notaris, kami langsung diarahkan untuk melakukan tandatangan di dokumen yang disodorkan tanpa dijelaskan terlebih dahulu. Karena kami percaya jika yang kami tandatangani merupakan surat kuasa pencairan kredit, maka kami tandatangan saja. Setelah kami tanda tangan kami langsung dipersilahkan pulang,” terangnya.
Kata Siti Aminah, setelah penandatanganan di notaris, sertifikat milik Siti Aminah, tidak pernah diagunkan ke bank, yang terjadi malah sertifikat tersebut beralih nama ke terlapor RF dan terlapor RF, tanpa sepengetahuan Siti Aminah selaku pemilik tanah pertama.
Tidak lama setelah itu atau tepatnya tahun 2017 terlapor RF menjual tanah tersebut ke terlapor A, yang konon sebagai pemodal usaha. Setelah beberapa waktu berlalu, terlapor A kembali menghubungi terlapor S untuk meminta pelunasan utang.
Dalam komunikasi mereka, terlapor A mengancam akan menjual sertifikat yang katanya diagunkan ke bank kepada orang lain, jika terlapor S tidak mampu melunasi seluruh modal usaha yang telah diberikan oleh A.
Terlapor S meminta kepada terlapor A untuk tidak menjual tanah tersebut, dikarenakan tanah tersebut merupakan kepunyaan Siti Aminah yang merupakan keluarga terlapor S.
Namun tanpa sepengetahuan terlapor S, pada 2023 terlapor A sudah menjual tanah tersebut ke seseorang yang berinisial TSM, yang dalam proses jual beli memberikan kuasa kepada Y.
Beberapa lama setelah itu, Y didampingi dua polisi dari Polsek Lhoknga mendatangi rumah Siti Aminah, dengan maksud meminta Siti Aminah meninggalkan tanah dan rumah tersebut, dikarenakan tanah dan rumah tersebut bukan lagi kepunyaan Siti Aminah.
Merasa Y tidak memiliki hak untuk mengusir dirinya, Siti Aminah menolak meninggalkan rumah tersebut, dengan alasan rumah ini masih kepunyaannya dan merupakan warisan dari keluarganya.
Karena peristiwa itu, Siti Aminah melapor ke Keuchik Desa Lampaya untuk memusyawarahkan permasalahan ini.
Keuchik Lampaya pun akhirnya memanggil pihak Y dan Siti Aminah serta Budi Mulia guna dilakukan mediasi, namun setelah mediasi dilakukan, jalan keluar masih belum ditemukan.
Karena Y meminta uang sejumlah Rp 165 juta, Keuchik mengagendakan kembali proses mediasi dengan jarak waktu satu bulan dengan anggapan 1 bulan, waktu yang cukup bagi korban mencari uang.
“Hantom na lam lumpo, lon mat peng nyan dum,” (tidak pernah bermimpi saya memegang uang sejumlah itu), “teuma kiban cara, nyan rumoh keuneubah mak lon, rumoh nek lon, peujeut lon jok peng keu gob, peu juet lon diuse dari rumoh droe lon, lon ka tuha pat kutinggai lon,” (bagaimana bisa demikian, padahal itu rumah peninggalan mamak saya, rumah nenek saya, kenapa saya yang harus memberikan uang untuk orang lain, kenapa saya yang diusir dari rumah milik saya sendiri, saya sudah tua dimana saya akan tinggal),” ungkap Siti Aminah dengan mata berkaca-kaca.
Mediasi kedua yang direncanakan oleh Keuchik Lampaya tidak pernah terjadi hingga laporan ini dibuat Y.
sebagai kuasa pembeli dari TSM mengatakan “Kalau ibu tidak pindah, maka ibu harus membayar sewa kepada saya atau saya gugat ibu ke pengadilan.”
Pasca peristiwa di meunasah, Siti Aminah menerima relas dari Pengadilan Negeri Jantho dengan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum karena tinggal di tanahnya sendiri, yang kini sertifikatnya sudah beralih kepemilikan sebanyak tiga kali, peralihan pertama kepada terlapor RF, kedua kepada terlapor A.
Terakhir tanah Siti Aminah beralih kepada TSM, seseorang yang tidak Aminah kenali dan pernah temui, TSM adalah seseorang yang beralamat di Jakarta dan jauh di sana.
“Kasus-kasus seperti ini, sangat rentan terjadi di tengah masyarakat kita yang minim pengetahuannya, terutama dalam urusan-urusan hukum,” sebut Yulfan, kuasa hukum Siti Aminah.
“Maka oleh karena itu kami berkomitmen, mengusut tuntas kasus ini, agar para oknum mafia tanah, yang juga oknum aparat penegak hukum ini, tidak lagi meresahkan masyarakat, terkhusus masyarakat yang berada di Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar,” ucapYulfan.
Yulfan mengimbau warga agar tidak mudah percaya dan menyerahkan surat-surat berharga seperti sertifikat tanah untuk dipegang atau dipergunakan oleh orang lain.
“Agar kasus-kasus serupa tidak terulang lagi, kami mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk melindungi dan tidak sembarang memberikan barang atau surat-surat berharga kepada orang lain, tanpa memahami terlebih dahulu kenapa surat-surat tersebut harus diberikan,” pungkasnya. (RED)