KKR Kekhususan yang Dimiliki Aceh, Pemerintah Pusat Tak Berwenang Bubarkan
Lebih lanjut, menurut Kurniawan, meskipun keberadaan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun sejatinya tidak bersifat serta merta meniadakan eksistensi dari kelembagaan khusus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai salah satu kelembagaan yang bersifat khusus di Aceh, sebagaimana halnya dengan kelembagaan khusus lainnya, seperti Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan lainnya dan juga sama dengan keberadaan kelembagaan istimewa di Aceh, seperti Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), dan juga MPU, tegas Kurniawan yang saat ini sedang melanjutkan studi Program Doktor Ilmu Hukum (DIH) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).
Menurutnya, meskipun keberadaan KKR di Aceh merupakan bagian tidak terpisahkan dengan KKR (nasional) sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 229 ayat (2) UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun dicabutnya UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR (Nasional) oleh MK melalui Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, secara yuridis tidaklah serta dapat meniadakan eksistensi KKR di Aceh.
Hal ini dikarenakan kewenangan dimiliki oleh Pemerintah Aceh untuk membentuk KKR Aceh merupakan atribusi dari produk hukum berupa undang-undang (yaitu UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh).
Dengan demikian dapat disimpulkan eksistensi KKR di Aceh merupakan amanat/kehendak Konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) yang selanjutnya pengaturannya diatur dengan undang-undang (dalam hal ini UU No 11 Tahun 2006).
Keberadaan KKR di Aceh tidaklah dilihat dari permasalahan hukum semata, melainkan juga ada pertimbangan filosofis dan sosiologis termasuk aspek politik hukum.
Dari kacamata filosofis dan sosiologis, dan politik hukum, keberadaan KKR di Aceh merupakan salah satu titipan harapan masyarakat Aceh sekaligus hasil kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan Perwakilan GAM di tahun 2005 sebagaimana yang tertuang di dalam MoU yang untuk selanjutnya pengaturannya diatur dengan UUPA.
Sehingga karenanya keberadaan KKR di Aceh tidak sepenuhnya berdiri di bawah rezim hukum UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR (Nasional) sebagaimana yang telah dicabut oleh MK RI melalui Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, melainkan juga secara bersamaan “pondasi utama” dan “dasar politik hukum” berdirinya kelembagaan KKR Aceh tersebut sejatinya berada di bawah rezim hukum UUPA,” tegas Kurniawan.