“Kopi Buat Projo”: Dugaan Budi Arie Terima Uang Judi Kian Sulit Ditepis
Infoaceh.net – Dugaan keterlibatan Budi Arie Setiadi sebagai beking judi online kembali mencuat.
Eks Menteri Kominfo yang kini menjabat Menkomunikasi dan Digital (Menkomdigi) itu disebut berkali-kali dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan kesaksian persidangan kasus judi daring yang menyeret 24 terdakwa, termasuk sembilan pegawai Kementerian Komunikasi.
Salah satu kesaksian paling menguatkan datang dari terdakwa Zulkarnaen Apriliantony alias Tony.
Ia mengaku pernah bertemu Budi di rumah dinas menteri di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan, sekitar September atau Oktober 2023. Tony datang membawa flashdisk berisi daftar situs judi online kelas menengah dan kecil, titipan dari pengusaha properti bernama Cencen Kurniawan.
Menurut laporan Tempo edisi 29 Juni 2025, daftar tersebut merupakan bagian dari skema Cencen untuk “mengatur” situs-situs judi: yang kecil diblokir, yang besar dibiarkan.
Saat menerima flashdisk itu, Budi diduga berujar, “Masak, situs sudah di-take down, tidak ada duit kopi untuk anak-anak?” Kalimat yang oleh penyidik ditafsirkan sebagai kode permintaan uang.
Tak lama berselang, Cencen menyerahkan uang S$50 ribu atau sekitar Rp500 juta kepada Tony dalam kemasan kopi arabika. Tony kemudian membawa bingkisan itu ke rumah dinas Budi. “Nih, kopi buat Projo,” ucap Tony saat menyerahkan. Budi hanya menjawab, “Tuh, taruh di situ saja,” sambil menunjuk ke karpet ruang tamu.
Kuasa hukum Tony, Christian Arensen Tanuwijaya Malonda, membenarkan kliennya mengantarkan kopi, namun membantah isinya uang. Setelah kasus ini mencuat, Budi menemui Christian dan marah karena namanya berulang kali muncul dalam dokumen BAP para tersangka.
Christian menyebut, Budi sempat ingin bersaksi di pengadilan, namun mengurungkan niat karena posisinya sebagai menteri tidak memungkinkan untuk membela diri. Ia hanya dapat bersaksi untuk meringankan atau memberatkan terdakwa.
Kasus ini bermula dari pengungkapan situs “Sultan Menang” oleh polisi pada 19 Oktober 2024. Situs itu diketahui menyetor sejumlah uang kepada pegawai Kominfo agar tidak diblokir. Polisi kemudian membongkar keberadaan “kantor satelit” di Bekasi, tempat pengaturan situs aman dan daftar blokir dilakukan.
Dalam surat dakwaan, komplotan ini disebut membagi hasil pelindungan situs judi: 20 persen untuk Adhi Kismanto dan tim, 30 persen untuk Tony, dan 50 persen untuk Budi.
Budi membantah keras seluruh tuduhan. Ia menyebutnya sebagai narasi jahat yang mencemarkan nama baik. “Saya tidak tahu-menahu, apalagi menerima aliran dana,” ujarnya pada 19 Mei 2025. Menurutnya, pembagian dana itu hanyalah omongan internal para tersangka.
Namun, sejumlah pakar hukum menilai penyelidikan terhadap Budi tetap harus dibuka. Abdul Fickar Hadjar dari Universitas Trisakti menyebut dakwaan jaksa yang menyertakan jatah 50 persen untuk Budi sudah memenuhi syarat hukum. “Penegakan hukum terhadap pejabat publik tetap terbuka,” katanya.
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menilai bukti permulaan sudah sangat cukup untuk membuka penyidikan. “Sudah bisa dilakukan penyelidikan atau penyidikan atas dugaan keterlibatan Budi Arie,” ujarnya.
Mantan pimpinan KPK, Laode M. Syarif, menyebut kesaksian para terdakwa sudah dapat dijadikan dasar hukum. Bahkan nilainya akan semakin kuat jika dikuatkan lewat putusan pengadilan.
Ketua Harian Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiutomo, mengatakan nama Budi memang belum terbukti menerima uang secara langsung. Namun karena disebut berulang dalam dokumen resmi, maka perlu ada klarifikasi terbuka agar tidak menjadi fitnah berkepanjangan.
Arief juga menyoroti pentingnya sensitivitas politik dalam kasus ini, mengingat fokus pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terhadap empat kejahatan besar: judi, korupsi, narkoba, dan penyelundupan. “Kalau ada temuan, itu bisa menjadi bahan klarifikasi,” tegasnya.
Namun hingga akhir Juni 2025, belum ada tanda-tanda Budi akan diperiksa. Polda Metro Jaya masih bungkam. Konfirmasi dari Tempo kepada Dirkrimum Kombes Wira Satya Triputra dan Dirkrimsus Kombes Ade Safri Simanjuntak tak direspons hingga berita terbit.
Apakah hukum benar-benar bisa menyentuh pejabat sekelas menteri? Jawabannya bergantung pada political will dan keseriusan aparat dalam menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum.