BANDA ACEH — Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Aceh Ir Fajri mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh atas penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi pada proyek pembangunan jembatan tahap II Kuala Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Pidie oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh.
Praperadilan diajukan pemohon, Fajri pada Rabu 12 Januari 2022 nomor perkara Pid.Pra/2022/PN Bna dengan Termohon Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh.
Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Aceh Munawal Hadi menyampaikan, pihak Kejaksaan Tinggi Aceh siap menghadapi permohonan Praperadilan oleh mantan Kadis PUPR Aceh Ir Fajri.
“Terhadap Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon atas nama Fajri, mantan Kepala Dinas PUPR Aceh yang ditetapkan sebagai tersanga dalam dugaan tindak pidana korupsi pembangunan jembatan kuala Gigieng Kabupaten Pidie, kami sangat siap untuk manghadapinya,” ujar Munawal Hadi dalam keterangannya, Jum’at (13/1).
Menurutnya, pihak Kejaksaan Tinggi Aceh juga telah menyiapkan jaksa-jaksa terbaik guna menghadiri persidangan Praperadilan tersebut dan akan menunjukkan fakta-fakta terkait penetapan Fajri sebagai tersangka.
Dalam menetapkan Fajri sebagai tersangka, Kejati Aceh telah melakukan sesuai aturan dan sudah memenuhi minimal 2 alat bukti yang kuat.
Untuk diketahui, sebelumnya dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan jembatan Kuala Gigieng di Kabupaten Pidie tersebut Hakim telah 2 kali menolak permohonan Praperadilan yang diajukan oleh 2 tersangka lainnya yaitu Saifudin dan Kurniawan.
“Dan harapan kami ini dapat menjadi catatan untuk hakim dalam memutus permohonan praperadilan selanjutnya,” pungkas Munawal Hadi.
Alasan Pemohon Fajri mengajukan Praperadilan dikarenakan menemukan beberapa kejanggalan atas penetapan status tersangka terhadap dirinya.
Dimana terdapat berbagai penyimpangan hukum pidana formil yang dilakukan oleh Termohon.
Selain itu Pemohon Ir Fajri mempertanyakan dua surat perintah (Sprindik) yang di terbitkan oleh termohon Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh yakni Sprindik Nomor: Print-04/L.1/Fd.1/10/2020 tanggal 22 Oktober 2020 dan Sprindik Nomor: Print-08/L.1/Fd.1/10/2021 tanggal 6 Oktober 2021.
Permohon menilai Sprindik ganda yang dilakukan oleh termohon menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dirinya. Selain itu, temohon juga tidak menyampaikan pemberitahuan penyidikan kepada pemohon melalui suatu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). (IA)